XXXXX
*
*
*Episode 01
-----
"Bagaimana para saksi, sah?" Tanya seorang penghulu memandang kedua saksi yang duduk mengapit kedua pengantin siang itu.
"SAH !!!"
"Alhamdulillah..."
Pengantin wanita tersenyum memandang pria yang sekarang sudah menjadi suaminya. Dia tidak menyangka akan menikah dengan pria yang baru tiga bulan ini dia kenal lewat sahabat mereka yang ngebet menjodohkan keduanya.
"Sekarang saudara Syarief Maulana dan saudari Anna Fadhila sudah sah menjadi suami istri," kata pak penghulu, mengulum senyum pada pasangan baru di depannya.
Syarief mengangguk, dia memandang wanita yang sudah menjadi istrinya dan menyunggingkan senyum hangat.
"Nah, pakaikan cincinnya," celetuk salah seorang kerabat dengan nada jail. Syarief tahu siapa orang itu.
Anna menunduk dengan wajah merah, menerima uluran tangan suaminya dengan malu-malu. Jantungnya seakan bekerja dua kali lebih cepat saat sang suami memasangkan cincin pernikahan mereka. Begitupun sebaliknya, tangannya gemetar saat memasang cincin pada jari suaminya.
Pesta pernikahan di lanjutkan dengan prosesi adat dan tradisi yang ada. Mereka memakai adat jawa, sesuai suku sang mempelai wanita, Anna, yang menjadi semakin malu saat proses lempar-lemparan bunga melati dengan suaminya sementara para undangan terkekeh dan banyak yang mengabadikan prosesi itu.
"Lelah?" Tanya Syarief pada Anna yang duduk di sampingnya di pelaminan.
Anna menggeleng, dia heran, kenapa wajahnya masih saja terasa panas dan membara. Malu-malu, padahal mereka sudah sah sebagai pasangan.
"Mas lapar?" Anna balik tanya.
"Tidak juga, keramaian ini membuatku kenyang," kata Syarief bercanda.
Anna tersenyum. Dia merasa pipinya kaku sekali karena terus-menerus tersenyum hari itu. Apalagi para tamu undangan yang terdiri dari kerabat dan teman dekat terus menggodanya. Menikah di usia yang hampir tiga puluh tahun membuatnya malu. Tidak, bukan karena dia tidak laku, tapi karena selama ini dia malas sekali pacaran atau meladeni para pria yang mendekatinya. Anna cuma menunggu pria yang pas, dan kebetulan pria yang menurut dia pas itu adalah Syarief Maulana yang sekarang sudah menjadi suaminya. Katakan saja Anna kolot atau ketinggalan zaman, dia tidak keberatan. Dia memang di besarkan di tengah keluarga yang taat beragama. Keluarga besarnya menyukai Syarief, dia juga suka, jadi mereka menikah. Sesederhana itu. Lagipula, untuk apa pacaran lama-lama jika nantinya putus? Cuma akan menambah dosa saja menurut Anna.
-----
Setelah menikah, Syarief mengajak Anna untuk tinggal di rumah yang dia beli dengan cara kredit di perumahan tidak jauh dari pusat kota. Cicilan rumah itu terhitung murah dan terjangkau. Walaupun tidak seluas dan semewah rumah orang tuanya, Anna tidak keberatan. Lagipula, dia pasti akan kerepotan mengurus rumah yang besar sendirian, selama ini kan keluarganya di bantu oleh asisten yang di pekerjakan ayahnya.
"Bagaimana suamimu, nak? Dia baik kan?" Tanya Dina, ibu dari Anna yang siang itu sengaja mengunjungi sang anak yang baru dua minggu menikah.
"Mas Lana baik kok, Mi..." Kata Anna yang sudah memiliki panggilan baru untuk suaminya itu.
Dina tersenyum dan mengelus kepala Anna yang sudah tertutupi oleh jilbab.
"Kalian baik-baik yah, bertengkar wajar, tapi jangan turuti hawa nafsu amarah, paham, Anna?"
Anna mengangguk.
"Dan turuti apapun yang suamimu katakan jika itu untuk kebaikan. Ingat, surga seorang istri itu ada pada suaminya, Abi udah sering katakan bukan?"
"Iya, Umi, aku gak mungkin lupa hal yang di ajarkan Abi sama Umi selama ini," kata Anna.
Dina tersenyum bangga. Anna adalah anak bungsunya. Sang kakak sudah lama menikah dan saat ini mengurusi pondok pesantren yang di kelola keluarga mereka sejak berpuluh tahun lalu. Selama ini, Dina berpikir jika Anna termasuk anak yang membangkang karena tidak pernah mau menutup aurat kecuali di lingkungan pesantren, walaupun sudah berkali-kali di ingatkan oleh Abi nya. Tapi, dia senang sekarang putrinya mau menurut.
Ba'da ashar, Dina pamit pulang dan sekali lagi berpesan pada sang anak untuk menjaga rumah tangganya baik-baik agar tidak di terjang prahara besar. Masalah memang selalu ada, tapi harus di sikapi dengan kepala dingin.
Anna paham itu.
-----
"Bagaimana di sekolah, Mas?" Tanya Anna di malam hari, sambil memberikan segelas teh hangat untuk sang suami yang tengah duduk santai di depan televisi.
"Cukup melelahkan, selain anak-anak yang nakal dan susah di atur, rekan-rekan guru juga sibuk menggoda karena Mas kan baru mulai mengajar lagi setelah cuti," jawab Syarief, kemudian menyeruput teh hangatnya. Dia mengernyit merasakan sensasi manis pekat pada minuman itu.
"Kenapa, Mas?" Tanya Anna yang melihat kernyitan tidak senang di wajah suaminya.
"Tidak, cuma lain kali usahakan jangan terlalu banyak gula, ya, Anna. Mas kurang begitu suka manis," ujar Syarief.
Anna tersenyum minta maaf dan mencatat hal itu baik-baik. Syarief tidak menyukai manis. Dia harus mengingatnya.
"Maaf, Mas..." Kata Anna lirih.
Syarief tersenyum, "Mas nggak marah, kenapa minta maaf? Santai saja, Anna."
Anna mengangguk.
Dia sangat beruntung memiliki suami yang sangat baik dan pengertian seperti Syarief. Tidak pernah marah dan selalu sabar menghadapinya. Bahkan menerima saja masakannya walaupun Anna sendiri tidak yakin dengan rasanya. Paling Syarief hanya memberitahu hal-hal kecil tentang kesukaan dan yang tidak di suka dengan lembut tanpa emosi.
Perkenalan dengan waktu yang sangat singkat jelas membutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang super untuk tidak menjadi boomerang dalam rumah tangga mereka yang baru seumur jagung.
Anna berharap, semoga keluarganya di jauhkan dari hal-hal buruk.
-----
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Hati ( Aku, Kamu & Dia ) √
RomanceSyarief Maulana meninggalkan kampung halaman dan mulai mengadu nasib di luar kota. Dia juga mau melupakan masa lalunya. Dia kemudian menikah dengan seorang gadis yang di kenalkan salah satu teman padanya. Anak dari seorang kiyai pengurus pesantren...