30

4.5K 182 12
                                    

XXXXX

*
*
*

Episode 30

---

Anna memandang suaminya yang tengah duduk di teras rumah dengan tatapan menerawang. Sebenarnya dia tidak tega. Sejak pindah ke rumah ini, suaminya itu sering sekali melamun. Entah apa yang di pikirkan. Setiap kali Anna bertanya, Syarief selalu bisa berkelit. Membuatnya cemas.

Cemas kalau ternyata Syarief memikirkan gadis itu...

Tidak. Tidak. Anna tidak mau suudzon pada suaminya sendiri.

"Ummi? Abi kenapa? Sakit ya?" Celetuk Salman, bocah itu berdiri di sebelah Anna. Sama-sama memandang ke arah Syarief yang masih asyik dengan lamunanya.

Anna mendesah, berjongkok agar bisa lebih dekat dengan Salman, "Abi tidak sakit. Abi lagi berpikir, Salman tidak usah khawatir ya..."

Mata jernih Salman memandang Anna dengan sorot polos. Yang selalu membuat Anna semakin merasa bersalah karenanya.

"Apa Abi tidak punya teman? Kasihan Abi, selalu sendirian..."

Bahkan Salman memikirkan kamu, mas... Anna membatin.

Anna tersenyum, menggendong Salman dan membawa bocah itu ke bagian dalam rumah.

"Mending kita masak yuk? Salman mau kan bantuin ummi masak?"

"Mau, ummi!"

Ketika malam, saat Salman sudah terlelap dengan mimpinya. Anna mengajak Syarief bicara di ruang tengah. Menyuguhkan teh hangat dan kue-kue kecil di toples. Syarief cuma meminum tehnya, matanya terpancang pada televisi, tapi Anna tahu, pikiran sang suami tidak pada tempatnya.

Anna berdehem, "mas ada masalah?" Mulainya.

Syarief menatapnya dan tersenyum manis, "tidak ada. Kenapa, Anna?"

Anna mendesah, "mas terlihat selalu melamun, kaya banyak pikiran. Aku cuma cemas..."

Syarief masih mempertahankan senyumnya, "tempat ini mengingatkan mas akan semua masalalu. Itu saja. Banyak yang terjadi di masalalu..." Lirihnya.

"Mantan mas itu?" Tebak Anna. Dia sudah tahu tentang seorang gadis dari kampung halaman Syarief, mereka berencana menikah, tapi Allah SWT telah memanggil gadis itu terlebih dulu. Anna cukup tersentuh dengan cerita itu.

Syarief mendesah panjang, "mungkin sedikit mas memikirkan itu. Tapi bukan cuma itu...kamu mungkin tidak akan paham bagaimana rasanya kembali ke tempat yang sangat ingin di tinggalkan, Anna. Maafkan mas kalau membuatmu cemas."

Anna tersenyum lirih, "aku mungkin tidak akan mengerti. Tapi aku peduli, mas..."

"Mas tahu...maaf ya...."

"Yakin cuma hal itu yang mas pikirkan?" Tanya Anna lagi.

Sikap Syarief langsung tegang dan waspada, "maksud kamu apa?" Tanyanya.

Anna mengangkat bahunya, "tidak ada. Aku cuma penasaran, apakah mas juga memikirkan apa yang kita tinggalkan."

Rahang Syarief terkatup rapat, dia kembali memandang televisi, "mas tidak akan memikirkan itu kalau kamu tidak melulu mengungkitnya, Anna." Katanya datar.

Anna diam.

---

Daisy melengos, "aku tidak mau kemana-mana," tandasnya.

"Kamu harus pergi. Kakek sudah mengurus semuanya," ujar Michael dengan nada tegas.

Daisy memelototinya, "aku bilang tidak. Kalau Kakek terus mengusirku, kenapa Kakek membawaku ke rumah sakit waktu aku bunuh diri?" Sengatnya.

"Karena Kakek tidak suka melihat ibumu menangis! Kakek melakukan itu karena ibumu. Kakek tidak pernah peduli padamu, anak nakal," sahut Michael.

Seharusnya Daisy sakit hati mendengar itu. Tapi dia sudah terbiasa dengan sikap sang Kakek. Dia tahu, pria itu memang tidak pernah menyayanginya. Jangankan sayang, peduli akan hadirnya saja tidak. Ketika sikap Kakek berubah hangat beberapa waktu kemarin juga Daisy tahu semua itu karena mamanya. Kakeknya itu sangat sayang pada putrinya, tidak pada cucunya yang tidak di harapkan ini.

Sekarang saja kakeknya sengaja pulang tengah hari untuk bicara berdua dengan Daisy. Ketika Daisy sendirian dan tidak ada yang membela.

"Pokoknya kamu harus pergi. Kakek tidak mau lebih malu lagi karena ulahmu," kata Michael.

Daisy menggeleng kencang, "aku bilang tidak. Lebih baik aku mati daripada menuruti Kakek."

"Dasar anak nakal!"

"Iya, aku memang anak nakal. Jadi kenapa Kakek membawaku pulang?!" Teriak Daisy.

Plak.

Michael menampar gadis itu dengan keras. Sekujur tubuhnya gemetar hebat karena amarah. Daisy memelototinya.

"Kalau Kakek malu, harusnya Kakek jangan membawaku pulang," bisik Daisy dengan mata berkaca-kaca.

Michael mengangguk, "kamu benar. Jadi silahkan kamu angkat kaki dari rumah ini, Kakek tidak peduli lagi. Tapi jangan harap kamu bisa menggunakan fasilitas dari kakek."

Daisy mengangguk, mengusap air matanya, "baik, aku akan pergi. Aku sudah muak tinggal di rumah ini." Gadis itu berderap pergi, tidak membawa apapun dari rumah kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya.

Daisy menyesal tidak bisa pamit pada mamanya. Tapi dia sadar, jika dia pamit, pasti dia tidak di izinkan pergi oleh sang Mama. Mungkin begini lebih baik, dia pergi diam-diam. Dia sudah muak dengan segala aturan Kakek yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin pria tua itu berniat mengirim Daisy ke lain negara hanya untuk menghindari skandal yang lebih buruk lagi?

"Maafkan aku, Ma...aku sayang Mama..." Bisik Daisy.

Daisy tidak tahu harus pergi kemana lagi. Dia memikirkan Joshua, tapi dia tidak mau meminta bantuan cowok itu lagi. Kemarin saja Joshua cuma diam saat dia di paksa pulang. Menatapnya saja cowok itu tidak. Mungkin Joshua tidak akan peduli. Lagipula selama ini apa yang Joshua lakukan cuma karena terpaksa. Tidak benar-benar peduli padanya. Mereka cuma orang asing.

Lalu kemana? Harapan terakhir yang dia miliki adalah Syarief. Tapi pria itu sudah pindah entah kemana. Meninggalkannya seorang diri di sini. Memikirkan tidak akan melihat Syarief lagi untuk selamanya, membuat Daisy stress dan nekat melakukan aksi bunuh diri. Dia tidak bisa hidup tanpa pria itu.

Daisy tidak mengerti, kenapa semua orang berpikir cintanya itu salah? Apa yang salah?! Bukankah cinta itu adalah perasaan yang suci? Daisy benar-benar tidak mengerti.

Daisy tidak memiliki tujuan. Dia cuma berjalan dan berjalan mengikuti langkah kakinya yang mulai melemah. Dia lelah, haus dan lapar. Tapi dia tidak memiliki uang sepeserpun untuk membeli makanan. Perutnya sudah berontak meminta di isi sejak tadi. Daisy cuma berjalan-jalan di trotoar padahal cuaca sedang sangat panas. Dia semakin dehidrasi. Matanya sudah mulai berkunang-kunang.

"Ya Tuhan...." Daisy meremas rambutnya, berharap rasa pening yang dia alami segera pergi.

Daisy akan melangkah lagi, tapi kakinya tidak kuat untuk itu. Dia merasakan tubuhnya limbung. Ketika dia pikir akan membentur trotoar, sepasang lengan kokoh menangkapnya.

Pandangan Daisy kabur, dia tersenyum melihat malaikat yang menolongnya, "mas...? Kamu kembali?" Lirihnya, berusaha menyentuh wajah pria yang sangat di rindukan. Tapi matanya langsung menggelap.

"Ah sial."

---

***bersambung***

04122019

Note:

Siapakah yang menolong Daisy?

Apakah Syarief akan kembali lagi?

Apakah firasat Anna benar tentang suaminya?

Jangan lupa voment ya 😉😉

Jengjengjeng...!!
Nantikan episode selanjutnya ya guys..  😊😊

3 Hati ( Aku, Kamu & Dia ) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang