[Aquinsha's POV]
Aku menatap Bapa Ed yang terdiam, membuatku tidak sabar. Ceritanya ditinggal menggantung begitu?
"N-namun apa yang terjadi?" tanyaku cepat membuyarkan lamunan Bapa Ed.
"Ah, maaf. Yah, namun ketika peperangan ras Orc dan manusia terjadi, istrinya meninggal." Bapa Ed tersenyum pahit lalu menunduk sedih. Aku menutup mulutku dengan tangan kanan.
"Istrinya terbunuh oleh ras Orc, disaat sedang berbelanja di pasar. Mendengar hal itu sang penyihir tampan marah dan pergi dari rumah meninggalkan anak laki-lakinya yang masih kecil sendirian"
"Dan anak laki-laki itulah yang menjadi awal mula generasi setengah penyihir. Tapi aku terkejut, gen penyihir itu masih tersisa sampai di anak semuda kamu," Bapa Ed terkekeh pelan. Aku hanya tersenyum kikuk.
"Itu artinya... orang tua saya setengah penyihir juga?" Aku kembali memainkan jariku dan bertanya.
"Ya, pasti salah satunya." ucap Bapa Ed lembut. Aku mengangguk.
"Aquinsha, kamu itu memiliki sihir yang besar, kalau mau bisa digunakan untuk menyelamatkan teman-temanmu," Bapa Ed berdiri. Dan aku hanya memperhatikannya.
"Apa kamu mau, menjadi muridku?"
•
[Mark's POV]Malam ini aku sudah bisa makan bersama dengan yang lainnya, duduk di meja makan besar jauh dari ranjang.
Aku entah mengapa jadi sangat benci pada ranjang, setelah berminggu-minggu tidur disana.
Tapi yah, begitu tubuhku lelah tempat itu tetap yang paling nyaman sih hehe.
"Wah! Sudah lama aku tidak makan cumi-cumi!" teriak Albion nyaring tepat disampingku.
Aku yang kesal segera mencubit lengannya. Wajahnya terlihat menyebalkan.
"Yaampun Mark, aku salah apa lagi? Menikmati makanan pun tidak boleh?" Albion mendekatkan tangan penuh sausnya ke wajahku, membuatku refleks melompat ke belakang.
"Aku tidak mau dekat Albion, Aquinsha aku mau didekatmu saja!" teriakku berjalan mendekati kursi Aquinsha.
Aquinsha tertawa melihatku dan Albion bertingkah seperti anak kecil.
Ah... melihat dia tertawa saja rasanya hangat.
Eh? Apakah ini perasaan yang katanya didapat ketika memiliki teman? Bahagia saat melihat teman bahagia?
"Sini Mark, aneh-aneh aja kamu," Aquinsha memberikan tempat duduk disebelahnya, dan aku langsung tersenyum penuh kemenangan ke arah Albion.
Bapa Ed tertawa melihat kami sampai hampir tersedak makanannya, membuat Teresa panik dan langsung mengambilnya segelas air.
"Uhuk.. j-jadi bagaimana tubuhmu Mark?" tanya Bapa Ed sambil berusaha mengatur nafasnya.
"Yah! Baik-baik saja!" jawabku semangat.
Bapa Ed tersenyum lega lalu kembali meneguk air putihnya.
"Sulit dipercaya ya, padahal tubuhmu waktu dibawa kesini benar-benar sudah bagaikan mayat," ujar Bapa Ed dengan santainya.
Aku menelan makananku buru-buru dan berteriak tidak terima.
"Jahat! Saya tidak terlihat seperti mayat tuh, saya tidak selemah itu."Albion tiba-tiba tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan kiri dan menunjukku dengan telunjuk kanannya.
"Seperti mayat! Kamu memang lemah sih, aku yang melawan banyak saja segar bugar," ejek Albion dengan nada mengesalkan yang langsung membuat urat kesabaranku hampir putus.
"Aku melawan bos nya loh! Bos nya!" balasku sambil berteriak kesal.
Bapa Ed berdeham. "Yah, tapi aku serius Mark, tubuhmu saat itu sangat mengkhawatirkan, dan penuh racun, aku sempat berpikir kau tidak tertolong lagi"
Aku mengerucutkan bibirku kesal dan kembali menyantap cumiku yang sisa setengah.
"Bagaimana bisa tubuhmu kuat bertahan dari racun sekuat itu?" Bapa Ed bertanya dengan heran dan tentu saja aku menggeleng tidak tahu.
"Aku terkena sedikit saja sudah hampir mati rasanya." ucap Yoru tiba-tiba ikut masuk dalam pembicaraan.
"Aku ini dicintai dewa keberuntungan, mungkin?" jawabku sambil bercanda. Teresa dan Ashley tertawa pelan seraya menyuapi Vietra dan Damon yang masing-masing masih berusia 3 tahun.
"Kamu itu dicintai dewa kesialan, bodoh," Aquinsha tiba-tiba menarik telingaku, membuatku terkejut sekaligus kesakitan.
Apalagi sih salahku? Huhu..
Acara makan malam bersama akhirnya diakhiri dengan tangisan Damon.
Aku mengambil piringku dan hendak menuju dapur untuk meletakkannya di tempat cuci piring namun Aquinsha menarik kaosku pelan.
"Mark.. ada yang ingin aku bicarakan," Aquinsha menatapku dengan sedikit gemetar.
Aku yang mendengar itu awalnya berwajah datar, namun beberapa detik kemudian aku berusaha tersenyum ramah.
"Baiklah." jawabku pasrah.
"Temui aku setelah ini di belakang gereja." setelah mengatakan itu Aquinsha bergegas pergi menghilang dari hadapanku.
Tanganku lemas.
Aku berjalan kembali ke dapur untuk meletakkan piring dan segera pergi ke belakang gereja.
•
[Akin's POV]Sudah beberapa hari ini aku, Riko, dan Savier menetap di sebuah penginapan super murah di kota pusat Ashmeir.
Kami berkeliling kota berkali-kali namun belum juga menemukan putri ataupun laki-laki misterius yang bersamanya. Walau tidak tahu namanya, aku mengenali wajahnya ya.
Gereja yang dimaksud pun tidak ada di sekeliling kota. Akhirnya hari-hari ini kami habiskan hanya untuk mencari makan dan menikmati kota.
Begitu frustasinya kami sampai akhirnya seorang penjual buah-buahan memberikan info tentang letak gereja itu kepada Riko.
Gereja itu terletak agak jauh dari pusat, tepatnya pinggiran kota. Sangat tidak tertebak.
Oleh karena itu kami memutuskan untuk menetap beberapa saat di pusat kota Ashmeir, dan terus mengawasi tuan putri.
'Kira-kira sudah berapa lama aku berada di luar istana ya...'
KAMU SEDANG MEMBACA
Heroes Of Avanire
AdventureMark Nicholson, seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun yang tinggal sendirian di sebuah kos kecil dengan penghasilan 4 koin perak sebulan. Kedua orang tuanya meninggal ketika melindungi Mark kecil dari iblis yang menyerang kampung halamannya. Ia...