'Ya'

1.6K 107 1
                                    

Dua hari sudah kesempatan Arin untuk menjawab keputusan antara dia menerima dan tidak perjodohannya. Hari ini keluarga Gavin dan keluarga Arin kembali berkumpul untuk memastikan jawaban Arin.

Wajah-wajah penuh harap terpancar jelas dari wajah kedua belah pihak keluarga Arin maupun Gavin. Semuanya terlihat harap-harap cemas, sedangkan Gavin sendiri berlaku acuh meskipun dalam hatinya sedikit agak cemas.

"Jadi? apa keputusanmu nak Arin?." Tanya Ani taksabaran membuat semua pasang mata mulai melihatnya. Sungguh, Arin merasa terintimidasi sekarang.

"Ya". Jawab Arin dengan mata yang terpejam. Dalam hatinya berdoa agar keputusannya ini tidak salah.

Hening...

Semuanya melongo, apa dengan mengatakan 'ya' barusan, Arin menerima perjodohan ini? Setelah hening beberapa menit, senyum lega terlihat dari semua orang. Hanya satu. Gavin masih belum bisa mencerna ucapan Arin.

'Apa aku tidak salah mendengar? dia menerima perjodohan ini? dan aku akan menjadi seorang suami di usiaku masih 18? GILLAA...' - Batin Gavin.

Semuanya bersyukur dan menggucapkan hamdallah. Bahkan sekarang para orang tua sedang heboh membicarakan tanggal pernikahan. Mereka tidak merasakan menjadi dua orang anak muda yang tertekan karena perjodohan. Disisi lain Arin senang karena Allah menakdirkannya dengan orang yang ia cintai. Tapi, disisi lain Arin juga ragu, apakah dia juga mencintainya? Arin hanya takut. Takut jika harus mencintai seorang diri tanpa dicintai balik. Dalam hidupnya tak terbesit sedikitpun cita-cita menjadi janda saat muda. Tidak! Tidak ada sedikitpun!.

***

"Rin, kantin kuyy." ajak Cika dengan gaya khasnya.
Arin masih tak beranjak. Dia masih dalam posisinya dengan kepala yang tenggelam dalam lipatan tangan. Arin tertidur.
Bagaimana ia tidak mengantuk, semalam Arin benar-benar tidak tidur sedikitpun.

Karena kesal tidak didengar, Cila sedikit mengguncangkan bahu Arin.
"Ada apa?" Tanya Arin polos.

"Sebel deh! gue ngomong dari tari dan lo gak denger? pemborosan banget gue." Gerutu Cika. Sedangkan Pika hanya terkekh sebagai penonton.

"Maaf Cila cantikk. Arin ngantuk."Jawab Arin dengan sengiran yang menampakan jajaran gigi repihnya.

"Yaudah, Cila kekantinnya sama Pika aja. Arin lanjutin aja tidurnya." Balas Cila menyambar tangan Pika. Lantas berbalik dan meninggalkan Arin sendiri dibangkunya. Mungkin Cila merajuk, dan Arin hanya mengedikan bahu lalu kembali terlelap.

"Wajah lo kenapa boss? macam jeruknya Nathan aja. Asemm hahaha." Ledek Alvin yang membuat Gavin mendengus.

"Kalo mau ngelawak liat-liat keadaan dong Vin!" Tegur Nathan yang miris melihat gurauan Alvin yang kelewat garing.

"Suka-suka gue dong. Kok lo ikut sewot sih? Cemburu yaaa gara-gara yang gue godanya Gavin?" Tuduh Alvin yang sangat jelas fitnah.

Sungguh, rasanya Nathan ingin memecat Alvin jadi sahabatnya. Kemaren-kemaren Nathan dan Gavin nemu Alvin dimana ya sampe otaknya kelewat biadab? Prihatin dede.

Karena dirasa Alvin dan Nathan mulai gesrek, dan hatinya sekarang sedang tidak baik. Akhirnya Gavin beranjak dan pergi begitu saja hingga menimbulkan tanya dibenak kedua sahantnya itu.

"Lo sih ngelawaknya garing! jadi pergikan tu si Gavin." Tuduh Nathan.

"Nahh kenapa jadi salah gue? siapa tau Gavin kebelet pipis. Makanya dia nyelonong gitu aja." Sahut Alvin tambah ngaco.

"Dasar dugong! jelas-jelas Gavin lagi gak baik-baik aja." Akhirnya Nathan ikut beranjak dari tempatnya meninggalkan Alvin yang pelangak-pelongok macam anak yang tertinggal kedua orang tuanya. Setelah kesadarannya kembali, Alvin ikut keluar dari kantin dengan wajah songongnya ketika banyak pasang mata memandangnya. Alvin-Alvin bloon kok diplihara. Terhura uka:"

Disisi lain Arin merasa dirinya butuh menenangkan pikiran. Lantas dia keluar kelas dan pergi untuk mencari udara segar, tujuannya sekarang adalah rooftop. Rooftop adalah tempat favorite Arin selain perpustakaan dan itu tidak diketahui banyak orang begitupun dengan para sahabatnya.

Arin duduk atas kursi yang tersedia disana. Pandangannya tertuju pada langit yang berawan. Semilir angin menerpa wajah cantik dan membuat hati Arin sedikit tenang. Arin sangat menikmati suasana saat ini, matanya terpejam untuk lebih menghayati setiap hembusan angin yang menenangkan pikirannya.

Biasanya Arin akan pergi kerooftop untuk membaca novel, ketika ada masalah, dan hanya untuk menenangkan diri saja. Disana Arin bisa tenang, bahkan Arin bisa menangis tanpa ada orang yang mengetahui karena mengingat jarangnya ada orang yang berkunjung kesana.

Dari ujung pintu seseorang sedang berdiri. Pandangannya tertuju pada Arin yang sedang menikmati semiliran angin. Matanya terpejam dan bibirnya mengembangkan senyuman. Sangat cantik.

Lalu orang itu berjalan perlahan dan menghampiri Arin.
"Ngapain lo disini?" Tanyanya datar.
Arin sedikit terkejut dan menoleh. Dia lebih terkejut ketika melihat orang yang ada dihadapannya sekarang. 'Sejak kapan dia ada disini' kalimat itu yang sekarang ada dipikirannya.

"Emm, kakak sendiri lagi apa?" Arin malah nanya balik.

"Emang masalah kalo gue ada disini?" Jawabnya galak.

Arin tidak menyangka jika orang yang disukainya begitu ketus dan menyebalkan. Hingga ia berpikir setan apa yang mendorongnya untuk menyukai laki-laki yang ada dihadapannya sekarang.

Ya, Dia adalah Gavin. Orang yang ada dihadapan Arin sekarang adalah Gavin. Sosok yang sukses membuat Arin menyukainya dipandangan pertama. Sosok yang Arin damba-dambakan dan satu nama yang selalu Arin sebutkan di sepertiga malam agar menjadi jodohnya.

"Eng-enggak sih kak, yaudah aku pergi dulu. Permisi." Kata Arin sedikit menciut lantas melangkah pergi.

Tepat dilangkahnya yang ke lima, Gavin kembali berbicara dan menghentikan langkah Arin.

"Ada apa kak?" Tanya Arin kembali membalikan badan.

"Ada sesuatu yang ingin gue tanyain. Sini!"

Selain ketus dan menyebalkan kini Arin tau sifat Gavin yang terlihat. Yaitu suka maksa. Dari nada bicaranya saja terdengar jika perkataannya tidak ingin dibantah. Dengan sedikit mengerucutkan bibi, Arin kembali menghampiri Gavin.

"Ini soal perjodohan."

'DEG!'

Arin belum siap untuk membicarakan soal ini. Apalagi hanya dibicarakan berdua dengan Gavin.

"Kenapa lo nerima perjodohan ini?" Tanya Gavin lagi. Enatah kenapa dia secerewet itu dan Arin yang biasanya sedikit cerewet jadi pendiam. Hatinya kini dagdigdug gak karuan. Pikirannya kacau, dan rasanya Arin ingin pingsan sekarang.

"Emang lo udah siap jadi istri diusia lo yang masih muda gini? lo gak mau ngelanjutin masa masa muda lo dengan bebas gitu? kuliah? kerja? dan emangnya lo udah bisa jadi seorang istri?" Pertanyaan itu jelas menohok hati Arin. Kanapa orang yang dia suka mulutnya sekejam itu?

Arin tidak ingin terlihat lemah, dia juga tidak siap dengan perjodohan ini meskipun dia sedikit senang karena yang dijodohkan kuarganya adalah dengan Gavin. Tapi dia bisa apa? dia tidak ingin melihat kedua orang tuanya terluka. Dan dengan mendengar perkataan Gavin barusan, membuat Arin ingin membuktikan pada Gavin jika dia pantas dan bisa menjadi seorang istri yang baik meskipun usianya yang masih muda.

"Aku bisa dan yakin. Dan jika kakak menanyakan alasan kenapa aku menerima perjodohan ini, awalnya aku juga ingin menolak. Tapi mendengar alasan yang tidak bisa aku bantah akhirnya aku menyerah dan menerimanya. Jika kakak tidak ingin menerima perjodohan ini, yasudah batalkan saja. Dan kenapa kemarin malam kakak malah seolah-olah menerimanya?" Cukup sudah Arin tidak bisa memendam semuanya. Biarkan saja dia mengatakan yang sejujurnya toh memang itu kenyataannya. Lantas Arin pergi dari sana meninggalkan Gavin yang mematung diam seribu bahasa.

Gavin hanya diam. Dia sendiri tidak menyangka dia bisa mengucapkan kata-kata yang akan menyakiti wanita yang ada dihadapannya. Gavin hanya tertekan dan frustasi. Itu karnanya ia kehilangan kendali. Dan sekarang rasa sesal memenuhi hati Gavin.

***

Hollaaaa I'm back hehe
Gak yakin masih ada yang nunggu hmm:'
Setelah beberapa bulan sibuk prakerin akhirnya aku bisa up lagi:)
Semoga hari kalian menyenangkan:)

Silent Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang