"Ekki!"
Salah satu teman satu tim nya teriak minta Ekki untuk melempar bolanya padanya, tapi Ekki tidak menggubris panggilan temannya itu. Dia mendribble bola secepat mungkin ke ring lawan. Tanpa bantuan satupun teman satu timnya, Ekki bisa shoot bola sendirian ke ring lawan dan mendapatkan 3 point untuk tim nya.
"Nice, Ki!" Teriak Marcel yang duduk di pinggir lapangan dengan anggota ekskul lainnya.
Sambil mengatur napasnya yang masih terengah-engah, Ekki menunjukkan ibu jarinya ke arah Marcel. Hari pertama ekskul tapi sudah cukup berat untuknya. Dia sama sekali belum hafal nama anggota yang ikut ekskul basket dengannya, tapi dia sudah langsung ditunjuk untuk bermain. Kalau mereka tidak diberikan tanda warna baju yang berbeda untuk membedakan tim satu dengan yang satunya lagi, Ekki pasti sudah setengah mati kebingungan mana teman satu tim nya.
"Nih minuman dingin. Pasti cape banget"
"Lo mau gue mati?"
"Santai aja dong. Jangan marah-marah terus" Marcel ikut duduk di sebelahnya.
"Wajah lo ngeselin"
"By the way, gue suka cara main lo tapi ada baiknya lo nggak main sendiri kayak tadi. Lo harus-"
"Nggak usah nasehatin gue"
"Tapi kekompakan itu hal yang paling utama"
"Tadi gue bilang apa? Gue nggak butuh nasehat lo"
Sebenarnya, Ekki sendiri juga tahu cara mainnya kali ini terlalu egois. Sama sekali belum hafal teman-teman satu tim nya membuatnya malas bekerja sama dengan mereka. Dasarnya Ekki seperti itu, dia malas mengakui kesalahannya, apalagi pada Marcel.
"Istirahat selesai! Set 2!"
Tanpa basa-basi, Ekki langsung berlari ke tengah lapangan, meninggalkan Marcel sendirian.
Masih sama seperti permainan pada set awal, Ekki bermain sendirian. Teman-teman satu tim nya sampai kebingungan harus bagaimana. Marcel hanya bisa geleng-geleng kepala.
Baru beberapa menit berlalu tapi Ekki sudah kembali merasa lelah. Seakan waktu sepuluh menit yang diberikan masih tidak cukup untuknya. Tubuhnya terasa lebih lemas, kepalanya mulai terasa sakit, dan napasnya menjadi lebih sulit terkontrol. Teriakan semangat dari murid lainnya yang awalnya tidak mengganggunya, kini membuatnya semakin tidak bisa konsentrasi.
"Ini gue kenapa sih?!"
Marcel yang dari tadi memperhatikan Ekki tentu saja sadar dengan pergerakan Ekki yang semakin melambat. Dia memilih diam dan mencoba untuk membiarkannya sedikit lebih lama lagi.
Saat semakin dekat dengan ring lawan, bola basketnya tiba-tiba bisa direbut oleh salah satu lawannya. Ekki yang tidak terima, langsung mengejar lawan pemainnya itu. Ekki terlalu memfokuskan diri menatap bola basket yang masih dibawa lawannya sampai-sampai dia tidak sadar teman satu tim nya juga berlari ke arah yang sama dan akhirnya...
BUKK!
Kepala mereka berdua saling bertubrukan.
"Ekki!"
"Cepat bawa ke UKS!"
"Lo nggak lihat-lihat sih! Tabrakan kan jadinya!"
"Niat gue cuma mau rebut bola basketnya. Lagian juga dia egois banget sih cara mainnya"
"Kok jadi nyalahin Ekki sih?"
"Ya emang benar kan? Coba dia lebih kompak lagi, ini nggak akan terjadi"
"Nggak usah banyak bacot lo pada, ini siapa yang mau bawa ke UKS?!"
"Biar gue yang bawa"
Suara Marcel yang paling tenang di antara semuanya menjadi suara yang paling terakhir Ekki bisa dengar sebelum akhirnya semua benar-benar menjadi gelap.

KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Melt (GxG)
RomantikEkki, remaja perempuan berumur 17 tahun dengan kehidupan hitam putihnya. Semuanya terasa biasa saja untuknya. Tidak ada warna. Kosong. Hambar. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Agatha, teman sekelasnya. Pertemuan mereka mulai merubah pikirannya te...