Ekki's POV
Marcel udah gue suruh pulang duluan. Gue emang agak jahat sih karna nahan dia duduk di cafe ini sampai jam setengah tujuh malam biar gue nggak bosan menunggu Agatha. Dia sempat bingung kenapa nggak mau diantar pulang, tapi merasa bukan waktu yang tepat untuk jujur, gue bohong bilang bakal dijemput kakak di sini dan memaksa dia untuk pulang duluan.
Sorry banget, Marcel
Gue melirik jam tangan gue. Lima menit lagi pas jam tujuh malam. Gue seruput ice coffee yang udah gue pesan kedua kalinya sedikit demi sedikit untuk mengulur waktu sampai dia datang.
Tepat sesuai jam yang dia janjiin, Agatha dengan seragam sekolahnya akhirnya datang dan duduk samping gue.
"Jadi lo mau bicara apa?"
"Nggak di sini, ayo ke rumah gue"
Dia langsung menarik tangan gue pergi dari situ.
***
"Kakak cantik mau main mobil-mobilan?" Sambut Andre sesampainya gue dan Agatha di rumahnya.
Gemas banget!
Gue jongkok untuk menyetarakan tinggi gue dan Andre, 'Ayo main-"
Agatha langsung menarik tangan gue lagi.
"Kakak Ekki nggak bisa main bareng Andre dulu"
"Tapi-"
Agatha terus menarik tangan gue sampai ke dalam kamarnya.
"Kakak janji habis ini kita main bareng ya!" Teriak gue sebelum Agatha menutup pintu kamarnya.
"Tangan gue sakit lo tarik terus daritadi."
Agatha nggak menjawab ucapan gue.
"Kak Agatha! Kak Ekki!"
Agatha langsung mengunci pintu kamarnya sebelum Andre berhasil masuk.Gue duduk di tepi ranjangnya dan Agatha duduk di samping gue. Kita berdua diam. Gue diam, dia juga diam.
Sebenarnya apa sih yang mau dia bilang?
Dua duanya tetap diam. Masa mau begini terus? Masa gue duluan yang ajak bicara? Dari awal kan dia yang mau bicara.
"Mama gue... nikah lagi"
"Hah?"
Agatha menatap gue sekilas sebelum menundukkan kepalanya lagi.
"Papa gue meninggal pas umur gue sembilan tahun dan Andre masih di dalam kandungan mama gue waktu itu. Papa meninggal karna kecelakaan. Awalnya gue pikir kalau mama merasakan hal yang sama kayak gue. Sama-sama terpukul, sama-sama kehilangan. Gue kira dengan kondisi yang terjadi saat itu, gue dan mama bisa lebih dekat lagi. Mama sibukin diri dengan kerja dan kerja. Gue masih bisa mengerti itu. Bahkan setelah Andre lahir, dia tetap nggak peduli. Umur Andre dua tahun, gue yang mulai ngurusin. Gue tetap berusaha untuk mengerti itu semua. Bukannya gue meremehkan pekerjaan dia, tapi guru nggak akan sesibuk itu, Ki. Sibuk sampai benar-benar nggak ada waktu untuk anaknya. Sibuk sampai nggak pulang berhari-hari""Walaupun gue curiga, gue tetap berusaha mengerti itu semua"
"Tapi... empat tahun kemudian, mama tiba-tiba bilang kalau dia mau... nikah lagi. Andre masih kecil banget dan dia mau nikah lagi? Bahkan dengan pria yang gue nggak tahu siapa. Saat itu juga gue udah nggak bisa mengerti dia lagi" Suaranya semakin lama meninggi, emosinya mulai nggak kekontrol. Kepalan tangannya semakin menguat.
"Tanpa persetujuan dari gue, dengan egoisnya dia memilih untuk nikah sama pria itu dan tinggal di rumahnya. Meninggalkan gue dan Andre di sini"
Gue diam. Nggak tahu harus bilang apa. Gue benar-benar nggak menyangka seburuk itu masalah Agatha sampai dia marah banget sama mamanya.
Untuk saat ini, gue merasa nggak punya hak untuk kasih komentar apapun atas semua yang barusan Agatha cerita ke gue.
"Gue tahu...gimanapun dia tetap mama gue. Dia yang melahirkan gue, tapi... tapi empat tahun merawat diri gue sendiri dan Andre yang masih sekecil itu... berat, Ki... berat. Biaya hidup emang masih ditanggung suami barunya tapi yang gue butuh bukan cuma uang aja, tapi kasih sayang orang tua. Bahkan mereka nggak pikir untuk tinggal bareng sama gue"
Agatha's POV
"Setelah gue cerita ini semua... lo tetap mikir gue salah kalau gue benci dia, Ki?"
Air mata gue jatuh saat gue menceritakan semuanya.
Ekki daritadi nggak bilang apa-apa, cuma diam. Entah apa yang dia pikirkan sekarang.
Apa dia tetap marah setelah gue jelasin semuanya?
Awalnya gue nggak mau cerita karna gue takut Ekki makin menjauh dari gue karna masalah keluarga gue yang malu-maluin ini. Gue malu keluarga gue nggak harmonis dan mama gue malah nikah lagi. Gue nggak mau Ekki yang udah tahu masalah gue di sekolah, tahu juga tentang masalah keluarga gue. Gue akhirnya memaksakan diri gue untuk cerita ke dia karna gue nggak mau lebih lama lagi berantem sama dia. Gue nggak mau diam-diaman lebih lama lagi sama dia.
Gue kangen sama dia dan gue pingin ngobrol lagi sama dia. Gue nggak mau dia terus-terusan jauhin gue dan malah dekat sama cowo itu.
Gue berharap dengan gue cerita semua ini, Ekki bisa mengerti dan kita bisa seperti sebelumnya lagi.
"Ekki, gue minta maaf-"
Belum selesai gue bicara, Ekki menarik tubuh gue ke dalam pelukannya. Kaget banget dipeluk tiba-tiba kayak gini.
"Ekki"Nggak ada jawaban. Saar Ekki menenggelamkan wajahnya ke leher gue, seketika tangisan gue semakin pecah. Bahkan gue nggak ada pikiran untuk membalas pelukan dia.
Walaupun nggak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya sejak gue menceritakan semuanya, tapi dari pelukan dan tangisan Ekki, gue bisa ambil kesimpulan.
Gue lega... lega banget, apa yang gue takutin ternyata nggak terjadi. Ekki udah tahu masalah yang sebenarnya dan dia memilih untuk nggak menjauh dari gue.
"Gue ada di sini, Agatha. Apapun yang terjadi, gue akan selalu ada di sini untuk lo. Gue janji. Apapun masalah lo di sekolah, kita hadapi sama-sama. Kalau lo mulai merasa sedih dan sendiri lagi, ingat ada gue di sini"
Gue sedikit mendorong tubuhnya dari gue biar bisa melihat wajahnya.
Gue nggak bisa menahan tawa karna wajah Ekki yang menangis kayak bocah, bahkan kayak Andre kalau kemauannya nggak dituruti.
Ekki langsung memukul bahu gue, "Bisa-bisanya lo masih ketawa"
Dia nggak mau menatap gue, mungkin karna malu.
Baru kali ini ada yang menangis untuk gue.Baru kali ini ada yang mengerti keadaan gue.
Sikap yang malah nggak pernah gue dapat dari sosok mama sekalipun.
Dia menundukkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Hei.." Gue menarik kedua tangannya pelan dari wajahnya dan menangkup salah satu pipinya.
Gue menatap dalam kedua matanya dan ibu jari gue mengelus lembut pipinya.
Entah sadar atau nggak, Ekki membiarkan itu semua.
Gue nggak bisa lari dari perasaan ini lebih lama lagi kalau sebenarnya gue...
Gue suka sama Ekki.
Gue suka sama dia. Gue sayang sama dia. Gue nggak mau Ekki dekat sama orang lain, apalagi cowo itu.
Maaf, Ki. Mungkin lo benci banget kalau lo tahu, tapi ini perasaan gue.
Perasaan ini yang ada, Ki.
Perhatian lo membuat gue nggak bisa untuk nggak peduli atau pura-pura bodoh tentang ini semua.Dan sebentar lagi, lo bakal tahu itu.
"Ki"
"Hmm?"
Gue diam sebentar, mengumpulkan keberanian gila ini untuk bilang perasaan gue. Saat ini, gue nggak mau pikirin sedikitpun jawaban apa yang akan keluar dari mulut dia atau reaksi apa yang akan dia tunjukkan. Jijik, kesal atau apapun itu, gue nggak peduli.
Gue cuma mau mengungkapkan betapa sayangnya gue ke dia dan berharganya dia untuk gue.
Secara perlahan, gue mencoba mendekatkan wajah gue ke dia. Awalnya dia bingung gue mau ngapain bahkan dia sampai sedikit memundurkan kepalanya. Gue nggak peduli dengan reaksi kecil dia itu.
Mulai mengerti apa maksud gue, dia malah menutup kedua matanya seakan memberikan lampu hijau untuk gue lanjut.
Debaran jantung gue semakin nggak bisa terkontrol saat gue bisa merasakan deru napas Ekki yang berhembus menyapu lembut permukaan wajah gue.Sampai akhirnya bibir gue berhasil menyatu dengan bibirnya, tetap nggak ada penolakan.
Apa yang ada di pikiran lo sekarang, Ki? Kenapa lo nggak menolak? Kenapa lo nggak dorong gue aja? Kenapa lo diam aja?
Detik demi detik berlalu, sementara bibir ini saling bertemu tanpa ada pergerakan sedikitpun, gue sama sekali nggak bisa pikir apa-apa. Gue nggak tahu harus gimana. Gue belum pernah ciuman sebelumnya.
Ekki membuka matanya secara perlahan tepat setelah bibir kami berpisah.
Dia nggak marah ataupun bawel kayak sewaktu gue cium pipinya saat main petak umpet waktu itu. Dia cuma diam dengan ekspresi yang seakan menunggu gue untuk menjelaskan apa yang baru aja terjadi.
Suasana hening dan canggung, cuma ada suara kipas angin. Ekki diam kayak gini dan nggak berisik kayak biasanya justru membuat gue semakin panik. Ekspresi Ekki yang sekarang ini sulit ditebak membuat gue takut.
"Gue suka lo, Ki."
"Lo kan udah pernah bilang, Ga. Waktu di-"
"Nggak... ini lebih serius, Ki. Gue..."
"Gue suka lo. Gue sayang"
"Maaf, Ga"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Melt (GxG)
RomanceEkki, remaja perempuan berumur 17 tahun dengan kehidupan hitam putihnya. Semuanya terasa biasa saja untuknya. Tidak ada warna. Kosong. Hambar. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Agatha, teman sekelasnya. Pertemuan mereka mulai merubah pikirannya te...