36. Diam

4.2K 172 0
                                    

Diamku bukan karena membenci
Diamku bukan karena tak sayang
Diamku hanyalah jawaban sebuah penolakan tentang kisah masa lalumu


Selepas sholat isya tidak ada pembicaraan apapun di antara kita, suasananya terasa hening, aku mendiaminya sejak perdebatan kita berlangsung saat pulang acara tadi siang. Sikap Kak Kamil yang dulu terlihat kembali, dia bersikap cuek seakan tidak ada apa-apa di antara kita.

Dia memang sudah meyakinkanku tentang hubungannya dengan Alena, tapi api cemburu mengalahkan penjelasan dia. Entahlah, aku masih ingin marah, mungkin setan sedang menertawakanku. Ampuni aku ya Allah, semoga amarahku mereda.

Tapi aku kesal sama dia, seharusnya dia membujukku agar aku tidak marah, kalau sekali dibujuk tidak mempan, dia terus berusaha meluluhkanku, itu yang aku inginkan. Nyatanya, aku diam seribu bahasa, dia juga ikut diam.

Walaupun aku sedang tidak mau berbicara dengannya, aku tetap menjalankan tugas sebagai seorang istri, aku tetap mengurusnya. Aku tidak mau menjadi istri durhaka yang membiarkan suaminya kelaparan, nanti bisa masuk neraka, naudzubillah.

Aku sudah menata menu makan malam di atas meja, jam dinding menunjukkan pukul 20:00, waktu makan malam sudah tiba. Sebenarnya aku masih malas bertatap muka dengan Kak Kamil, tapi tidak ada pilihan lain, aku harus memanggilnya dan menyuruhnya makan.

Aku tidak mau berbicara sama dia, aku mengambil buku kecil lalu menuliskan sesuatu di situ. Aku menghampiri Kak Kamil di kamar, dia sedang berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam, dia kelihatan begitu lelah. Aku ingin sekali memberikan perhatian lebih dalam keadaan dia kelelahan, namun aku masih kesal kepadanya, niatku menjadi surut ketika mengingat Alena.

Aku menepuk tangannya pelan dan berusaha membangunkan dia tanpa berkata apapun, matanya terbuka meski pandangannya masih buyar. Dia langsung duduk melihat kehadiranku.

"Ada apa?"tanya Kak Kamil.

Aku menyodorkan buku kecil itu, dia mengambilnya lalu membaca kalimat  yang aku tulis.

Ayo makan malam, aku udah siapin tuh di meja makan.

Kak Kamil malah tersenyum tipis setelah membaca tulisanku. Dia mengambil balpoin di laci yang tidak jauh dari posisinya lalu menuliskan sesuatu di buku kecil itu, dia memberikan buku tersebut kepadaku. Aku mengambilnya kemudian membaca balasan dari dia.

Ya nanti aku ke ruang makan. Udah deh jangan marah seperti anak kecil kaya gini segala pake surat-suratan kaya anak sekolah dasar, sekalian saja kamu kirim email ke aku. Kamu boleh marah tapi jangan mendiamkan aku terlalu lama, enggak baik tahu.

Aku membalas lagi untuk yang terakhir.

Aku tunggu

Aku langsung meninggalkan dia tanpa menunggu balasan dari dia. Benar apa kata Kak Kamil, kok aku marahnya kaya anak kecil main diam-diaman, biarin deh supaya dia tahu gimana sebelnya aku.

Beberapa menit kemudian Kak Kamil menghampiriku, wajah kusutnya berubah cerah mungkin dia habis cuci muka. Dia duduk di kursi di sebelahku. Aku mengambil satu piring untuknya lengkap dengan nasi dan lauk sesuai porsi yang biasanya dia makan.

"Mau lauk apa lagi?"tanyaku.

"Hah, enggak salah?"Kak Kamil malah melongo.

Ahlan Wa Sahlan Kekasih HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang