11_Sashi

3.9K 528 87
                                        

Mungkin selama ia mengenal Raka, baru satu kali ini jantung Alisa rasanya berpacu sangat cepat, sudah mirip serangan jantung –hiperbolanya seperti itu, namun di saat bersamaan ada rasa menggelitik perutnya yang tidak juga mau berhenti bahkan setelah Raka melepas bibirnya. Alisa tidak bergerak, hanya nafas yang terdengar.

Raka tidak juga berkata, ia cukup mengerti bagaimana terkejutnya sang istri yang tiba-tiba ia cium. Mengamati wajah Alisa sedekat ini tanpa harus diam-diam, rasanya menyenangkan.

Tok! Tok!

"Al, udah bangun?"

Suara Bunda. Alisa buru-buru melepas pelukan Raka pada pinggangnya, "iya, Bunda?" Duh, aku musti gimana ini? Alisa membuka pintu kamar, dibiarkan Raka masih berdiri di samping almari.

"Anter ke rumah sakit ya."

"Anter siapa, Bun?"

"Ayah, dari semalam lambungnya sesak."

Wajah Alisa berubah kuatir, padahal baru saja dibuat melayang, kini harus terhempas karena kabar Sang Ayah. "Mas?" Alisa menengok ke belakang.

"Tak anter, sekarang aja." Raka cukup mengerti situasi.

"Bunda siap-siap dulu." Bunda segera berbalik menuju kamar, sedangkan Alisa menghampiri Ayah yang sudah duduk di sofa ruang makan.

"Ayah?" Alisa duduk di samping Pak Farhan. "Perutnya kenapa?"

"Sesak, Al."

"Dari kapan?"

"Tadi pas habis tahajud, rasanya udah gak enak banget."

"Ya Allah, Yah. Kok gak bilang dari tadi?"

"Udah siap?" Raka keluar dari kamar, bajunya sudah ganti. "Gimana, Yah? Yang dirasain perutnya kembung apa sesak sampai dada?" Raka menghampiri Sang Mertua.

"Belum sesak sampai dada, tapi gak bisa kentut." Pak Farhan menepuk-nepuk perut. "Kembung kali ya?"

"Kembung kalau gak ditangani nanti naik ke dada, bisa bahaya." Raka lalu berdiri mengambil kunci kontak mobil. "Kamu ikut ga, Ta?"

Alisa yang sempat bengong –karena kehadiran Raka, akhirnya kembali sadar. "Eh.., iya ikut."

"Ganti baju gih."

"Iya..," Alisa bahkan tidak berani menatap Raka. Kenapa jadi seperti ini sih? Alisa bingung!

-------

Bulaksumur pagi di Hari Minggu, sepanjang perjalanan mengelilingi Graha Sabha Pramana, Barga harus berhenti beberapa kali lebih banyak dibandingkan sang istri. Mita dan Avin sibuk main bola sabun dari mainan pistol yang dibelikan Sang Ibu.

"Mi."

"Hem?" Wenda menengok ke belakang, dilihatnya Barga sudah berjalan sembari memegangi pinggangnya.

"Habis ini udahan ya?"

Wenda mengangguk, sepertinya Barga memang tidak ditakdirkan terlahir sebagai olahragawan. "Anak-anak masih di sana loh, ayo cepetan ntar Avin keburu ribut laper."

"Ya kamu kalo lari jangan cepet-cepet." Barga berlari kecil mengejar sang istri.

"Ini jalan loh, Yah."

"Nanti kalau kakiku pegel gak kuat nyetir gimana?"

"Aku yang setirin." Wenda berkacak pinggang, dilihatnya wajah lelah Barga yang terlihat lebih imut. Ya ampun! Sampai kapanpun sepertinya Wenda akan tenggelam dalam pesona sang suami yang kata orang punya wajah tidak bersahabat. Mungkin karena mereka yang memberi label para mahasiswa jadinya ya gitu. Dosen gak banyak ngomong dibilang dingin, pas banyak ngomong dibilang cerewet. Namanya juga manusia.

Cinta Untuk RakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang