03_Peristiwa Baru

4K 634 106
                                    

Ujian caturwulan telah dilalui, rapor sudah di tangan beserta dokumen kepindahan Alisa. Bunda dan Ayah bersiap untuk pamit kepada para tetangga, tak terkecuali Alisa yang pagi ini memakai jumpsuit biru dipadukan dengan kaos berwarna pink. Di kepalanya terpasang bando menghiasi rambut sebahu. Membawa tas ransel kesayangan, ia berjalan di belakang Bunda untuk salim pada orang dewasa dan berpamit pada teman sepermainan.

Rasanya tidak enak, bahkan Bagus, Adam, Dani, Saskia, Fia dan Lena satu per satu memeluk Alisa. Ada beberapa surat yang diberikan pada Alisa. Katanya dibuka saat di Bandung saja. Melihat tulusnya teman-teman yang tidak mau berpisah dengannya, Alisa berusaha tersenyum.

Bunda mengatakan nanti akan ada teman-teman baru yang menyenangkan di Bandung. Dan lagi, Bandung masih di Pulau Jawa. Jarak antara Banten ke Bandung juga tidak sejauh ke rumah Eyang Uti di Solo. Itu artinya kalau ada liburan panjang, Alisa masih bisa berkunjung ke enam sahabat yang ditinggalkannya.

Alisa kecil memasuki mobil Escudo keluaran tahun 1999 milik Ayah. Kurang lebih tujuh jam akan mereka lalui lewat perjalanan darat. Barang-barang telah diberangkatkan terlebih dahulu, ada teman kantor Ayah yang mengurus kedatangan barang-barang di rumah yang baru. Selama perjalanan itu, Alisa akan menghabiskan dengan membaca surat dari teman-teman, membaca diari yang ia putar selama di kelas -karena mengisi biodata sedang trend, atau memilih tidur karena pasti akan kecapekan sesampainya di Bandung.

"Sekarang jam delapan lewat sepuluh, berarti nanti jam tiga lewat sepuluh ya, Yah sampai Bandung?"

Ayah melirik kaca spion. "Kayaknya lebih, Kak. Nanti kan istirahat dulu, kasian Bunda kalau mobilnya gak berhenti."

Alisa memajukan tubuh ke depan, ditatapnya wajah Bunda. "Nanti kalau Bunda capek, bilang ya?"

"Oke, Kak."

Alisa mengamati jalan raya lewat kaca depan. Lalu dimundurkan tubuh untuk duduk di posisi semula. "Aku dapet banyak surat, Bunda."

"Oh ya? Dari siapa aja?"

"Dari teman-teman sekelas."

"Wah Kakak terkenal dong pisahan dapet banyak surat."

Alisa masih menunduk memilih surat mana dulu yang mau ia baca. "Tapi buku diarinya belum penuh, Yah. Kemarin Diandra sama Heksa gak masuk pas buku aku diputar."

"Loh diari kok dikasih lihat ke temen-temen?" Ayah masih fokus pada jalanan, meski meladeni obrolan sang putri.

"Ya kan emang harus diisi temen-temen, Kakak ngisi buku diari temen-temen juga."

Bunda menengok ke belakang. "Memang isi diarinya tentang apa?"

"Biodata, Bunda. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, hobi, makanan kesukaan, lagu favorit, artis kesukaan, terus... makanan favorit juga boleh, terserah mau isi apa aja."

"Nomor telepon?Alamat rumah?"

"Iyaa, itu juga. Biar nanti bisa kirim surat, bisa telepon kalau udah pisah."

Ayah manggut-manggut, ternyata ide anak sekarang memang kreatif. Kalau seperti itu tidak sulit bagi Alisa untuk berkomunikasi dengan teman-teman sekolahnya ditinggalkan. "Masih kuat baca, Kak? Nanti pusing loh."

Alisa menggeleng. "Enggak pusing kok, Yah."

"Ya udah, itu jajan dimakan biar gak minta brenti beli makan."

"Iyaaa." Alisa telah membuka satu surat, dari Dani dengan tulisan dan gambar warna-warni. Alisa bersandar pada sandaran kursi pada jok tengah.

Bunda mengulum senyum. Sebenarnya bukan Alisa saja nanti yang harus beradaptasi, Bunda dan Ayah juga. Mungkin bedanya, orang dewasa lebih pintar bersikap, sedangkan anak-anak tidak mudah ditebak. Sekalipun Alisa murid yang cukup pintar di sekolah, disegani sahabat-sahabatnya, Bunda tidak tahu akan seperti apa sekolah baru putrinya tersebut. Seperti apa teman-teman barunya nanti. "Semoga dimudahkan, Yah."

Cinta Untuk RakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang