18_Selangkah

4.2K 515 124
                                        

Sebetulnya bukan alurnya yang lambat, tapi saya yang jarang update. Book ini akan selesai di chapter 22 sd 25. Yang kemarin tanya kenapa book Kinanthi menghilang, itu karena saya ingin fokus menyelesaikan book ini. Kalau ada yang ngrasa ini kenapa tidak berkonflik, jawabannya simple. Saya tidak suka sesuatu yang memusingkan, nanti juga di klimaks akan tahu seperti apa permasalahan yang akan dihadapin para cast. Oke itu saja, lanjut posting besok kalau komen melebihi seratus. Terima kasih.

..

"Udah siap, Ka?"

"Udah, Yah."

Alisa telah selesai mengepak jagung dan pisang rebus untuk bekal yang akan dibawa oleh Ayah. Pagi ini Raka akan bermain tenis dengan Pak Farhan. Alisa sebetulnya tidak tahu apakah Raka bisa bermain olah raga tersebut karena selama lima belas bulan berinteraksi dengan sang suami, Alisa belum pernah mendengar apa olah raga favorit Raka.

"Yakin bisa maen tenis?" Alisa berdiri di hadapan Raka yang menunduk menyimpul tali sepatu. "Ayah mainnya bagus loh, temen-temennya juga."

"Ya gak apa-apa."

Masih menatap Raka, Alisa jadi merasa iba. Memang sih badannya masih muda, tapi kan Ayahnya dan teman-teman yang bermain tenis nanti adalah pemain pro. Bisa malu kalau kalah. "Nanti liat dulu gimana cara mainnya."

Raka menegakkan tubuh, mendongak ia menatap wajah Alisa yang terlihat tidak percaya diri. "Iya."

"Kalau ngrasa gak bisa gak usah main."

Wajah Raka terlihat berpikir, "gak seru kalau jadi penonton."

"Mending gak main daripada malu cuma bisa ngejar bola aja di lapangan."

"Kan emang mainnya gitu, ngejar bola tenis." Raka kini berdiri, tingginya yang menjulang meyebabkan Alisa mengangkat wajah.

"Tapi beda kalau gak bisa, ngejarnya gak pake raket tapi pake kaki. Alias ngambilin doang."

"Emang kenapa sih, Ta? Aku gak boleh main tenis?"

Alisa menggeleng, "gak gitu."

"Terus?"

Alisa menatap wajah Raka yang sepertinya terlihat super tenang untuk ukuran orang yang belum pernah memegang raket tenis. Bagaimanapun Alisa maunya suaminya itu bisa dibanggakan di hadapan kawan-kawan sang Ayah, kalau tidak bisa main tenis mending mundur saja. Pikirnya.

"Kamu ikut yuk." Ajak Raka.

"Ha?"

"Biar rame, ikut jadi penonton."

"Sama kamu ya jadi penonton."

"Gaklah, aku mau sparing sama temen Ayah."

"Ih dibilangin, temennya Ayah itu pemain pro semua, Mas."

Alisa terlihat seperti memohon Raka untuk tidak berangkat -tepatnya tidak menyentuh raket dan mengganti pakaian olah raga jadi kemeja saja. Atau kaos oblong seperti mau pergi jalan-jalan biasa.

"Bawel banget sih."

"Eh?" Mata Alisa membulat, bibirnya jadi manyun. "Kok ngegas?"

"Ciumanku kurang ya semalam?"

Astaga, ini tidak di dalam kamar, Raka sudah gila membahas soal ciuman di sini. "Ngomongnya ih." Alisa mencubit perut Raka, menyebabkan suaminya itu mengaduh.

"Nunggu apalagi, Ka?" Tanya Ayah yang sudah berada di samping mobil.

"Alisa mau ikut, Yah."

"Eh enggak." Alisa mengibaskan tangan kanan, siapa juga yang mau dipermalukan di muka umum? "Mas Raka belum bisa main tenis, nanti diajarin aja jangan diajak tanding."

Cinta Untuk RakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang