Bab 22 - Dua Sisi

378 31 3
                                    

Bab 22

"E—Erika ...?"

Ketika menyebut namanya, tenggorokanku mendadak kering. Apalagi saat aku membalas tatapannya yang merah, itu semakin membuatku membeku dan hanya mampu terpaku.

"Kau tidak perlu sampai terkejut seperti itu, 'kan, Fate?" Balas Erika.

"U—Umm, kau benar, maaf."

Erika hanya mengabaikannya, dia lalu mengambil posisi duduk di sampingku.

Ada apa ini?

Kenapa, tiba-tiba Erika dengan mata merahnya muncul?

Seingatku, belakangan di antara kami, termasuk Michelle baik-baik saja.

Ya meskipun saat ini kami sedang di dalam Dungeon, itu semua tak cukup kuat supaya Erika dengan mata merahnya terbangun.

"Mau sampai kapan kau menatapku, sih?"

"Ma—Maaf." Balasku sambil menggeser pandangan pada api unggun.

Suasana heing pun menghampiri. Baik aku maupun Erika, kami kompak terdiam dan hanya menatap tarian api unggun di hadapan kami.

Bersyukur suara bara api yang memercik dan hembusan angin mampu membuat suasana di antara kami tak sepenuhnya membeku.

Namun tak bisa dipungkiri, berada di dekat Erika dengan mata merahnya cukup membuatku gugup.

Keberadaannya yang selalu muncul tiba-tiba dan jalan pikirannya yang tak bisa ditebak, membuatku terasa asing.

Kini, aku merasa tengah ditemani oleh sosok lain yang menyatu dengan raga Erika.

"Bukankah kau memiliki sesuatu yang ingin dikatakan padaku, Fate?" tanya Erika seolah menebak pikiranku.

"Aku tidak akan bertanya apapun, Erika." Balasku.

"Jadi kau tidak mempedulikan keberadaanku yang merupakan kebalikan dari diriku yang kau kenal?"

"Terlepas dari semua itu, Erika adalah Erika." Jawabku sambil menoleh padanya. "Kau tetaplah Erika yang kukenal dan rekanku yang berharga."

Perkataanku barusan sama sekali tak membuat Erika tergerak.

Tak ada reaksi lucu maupun jengkel yang biasa Erika perlihatkan. Kekosongan benar-benar terlukis jelas melalui ekspresi dan kedua tatapan mata merahnya.

"Kau ini memang aneh, ya." Balasnya singkat.

"Begitukah?"

"Umm, pantas saja diriku dengan mata birunya merasa nyaman ketika bersamamu."

"...."

"Tapi, aku tidak menyukainya." Imbuhnya pelan.

"Kenapa?"

Erika lalu menekuk kakinya dan melipat kedua lengannya di atas lutut.

"Jangan samakan aku dengan seseorang yang lemah sepertinya."

"'Dengannya'? Maksudmu, Erika dengan mata birunya?"

"Umm."

"Jangan ngelantur. Kau ini adalah Erika yang kukenal." Sanggahku. "Meskipun kepribadian kalian terpecah, kalian tetaplah Erika."

"Ya, itu sayang sekali karna aku adalah bagian dari Erika yang kau kenal. Tapi, tetap saja aku tak ingin disamakan dengannya."

"Kau ini ngomong apa, sih?"

"Aku tidak akan memaksamu untuk mengerti. Setidaknya aku ingin kau tahu, jika aku dan dia itu berbeda." Balas Erika seraya menumpukan dagu lancipnya di atas lengan.

Living in the World Where I Can See a Stars (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang