Bab 23 - Sekat di antara Mereka

267 20 8
                                    

Bab 23

"Baiklah, kurasa ini yang terakhir."

Setelah memendekan cakar milik Miniboss yang barusan kami lawan, aku pun memasukannya ke dalam Magic Bag. Dari semua drop item yang ada, cakar Miniboss ini adalah yang paling berharga yang bisa kusimpan. Karna, cakar ini sangat keras dan daya tahannya cukup kuat.

Kata Erika, jika dijual sebagai bahan mentah untuk membuat senjata dan aksesoris harganya lumayan mahal. Meski begitu, aku tetap membagi item drop itu kepada Erika dan Nancy, mengingat kami bekerja sama untuk mendapatkannya.

"Erika, apa ada item lain yang bisa kita simpan?" Tanyaku.

"Sebenarnya sih kulit Miniboss ini bisa digunakan, tapi karna sudah gosong jadi enggak ada nilainya lagi."

"Sayang sekali, ya."

"Salah siapa coba?" celetuknya.

"Ugh, maaf, deh." Sesalku.

"Apa daging Miniboss ini masih bisa dimakan?" tanya Nancy.

"Sepertinya enggak, sih. Dipaksa pun, rasa dagingnya pasti akan pahit."

"Begitu, ya."

"Baiklah, jadi semuanya sudah selesai, 'kan?" tanyaku.

Erika mengangguk, "Kalau begitu, mari kita lanjutkan Penjelajahannya."

Setelah sempat terhenti beberapa saat akibat pertarungan melawan Miniboss, Penjelajahan pun kembali kami lanjutkan.

Miniboss yang barusan kami kalahkan adalah yang pertama di Lantai 2 ini. Kemungkinan, masih ada sekitar 2 hingga 3 Miniboss lagi yang perlu kami kalahkan untuk mengamankan Lantai ini.

Setelah mengetahui jika para monster penghuni Lantai 2 tak hanya mengandalkan insting untuk bertarung tetapi dengan kecerdasan, tentu saja aku menjadi cemas.

Aku jadi bertanya-tanya, untuk pertarungan selanjutnya dan seterusnya apakah kami bisa mengatasinya?

Pasti bisa.

Setidaknya, selama kami tidak bertindak ceroboh seperti meremehkan mereka kurasa ini akan baik-baik saja.

Menjelang siang, di saat rute yang kami lalui tiba pada point yang dituju, Erika memutuskan untuk rehat sejenak untuk makan siang.

Kami tiba di sebuah sebuah tepi anak sungai yang jernih dan dangkal. Banyak dari kami bahkan sekedar membasuh muka dan meminumnya, mengingat air yang mengalir begitu menyegarkan.

Setelah mendapatkan bagian bekal makan siangku dari Michelle yang berupa nasi gulung berisi irisan daging dan taburan biji wijen, aku lalu terduduk di atas batu landai sambil menatap ke arah anak sungai.

"Ini, silahkan diminum ginger tea‐nya, Fate," ujar Michelle memberikanku cangkir. "Meminumnya akan membuat staminamu pulih."

"Ahh, umm. Terima kasih banyak, Michelle." Balasku sambil menerimanya.

"Lalu bagaimana, Fate? Apakah kau merasakan sesuatu sejauh ini?"

"Enggak, kok. Sejauh ini aman-aman saja."

"Syukurlah kalau begitu. Kukira, pas sudah di Lantai 2, kita akan semakin sibuk bertarung."

"Selama kita bisa mengalahkan Miniboss tiap area, semakin sedikit pula pertarungan yang akan kita lakukan. Namun enggak bisa dipungkiri sih, jika itu justru akan semakin berbahaya."

"Jika saat itu tiba, aku serahkan padamu ya, Fate."

"Yah, itu memang sudah menjadi bagianku sih, jadi mau bagaimana lagi."

Living in the World Where I Can See a Stars (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang