Tidak secerah sebelum-sebelumnya, hari ini langit tampak gelap. Rintik-rintik hujan turun membasahi bumi, cuacana pagi ini membuat Rily tertidur pulas. Pendingin ruangan ia matikan, jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, dan Rily masih bergelung manja di kasur kesayangannya.
Ketukan pintu mengusik ketenangan Rily, tanpa menyahut, Rily menarik selimut menutupi tubuhnya hingga tenggelam.
Di balik pintu luar, Amor mendengus, diputarnya kenop pintu itu, dan masuk kedalam. Tumben-tumbenan, Rily tidak mengunci pintu kamarnya. Biasanya gadis itu selalu mengunci pintu kamarnya karena takut jika Raylan akan masuk diam-diam, dan menjahilinya saat tertidur pulas. Mungkin Rily terlalu lelah, jadi lupa mengunci kamar.
"Ril ... Bangun, udah jam enam lewat loh. Kamu mau telat? Ayo, buruan bangun. Sayang ... " Amor menarik selimut Rily, menggoyang-goyangkan lengan gadis itu.
Rily merengek, ia memiringkan tubuh, memunggungi Amor. "Rily capek banget Ma..." adunya, dan melanjutkan tidur.
"Eh, kok malah tidur lagi! Ayo, ayo, bangun! Kamu ini, suka banget dikasarin." Amor menarik tubuh Rily hingga terjatuh di lantai. "Hitungan tiga belum bangun, Mama guyur kamu. Satu ... Dua ... Ti ... Ga! Mama ambil air dulu, kamu tunggu sini, jangan kemana-kemana."
"Iya-iya! Nih, nih, udah bangun!" Rily melebarkan mata, mencebik kesal. "Ngantuk banget Ma ... " ia kembali memejamkan mata.
Amor berdecak, ia berjalan menuju kamar mandi. Rily yang mengintip kecil, segera bangkit dan berlari menuju kamar mandi, memotong Amor yang sengaja melangkah lambat. Ia bahkan menubruk pintu kamar mandi, karena lupa membukanya, akibat belum sepenuhnya sadar. Rily menendang pintu kamar mandinya karena kesal, dan segera masuk.
Amor yang memandangi itu menggeleng pelan, anak gadisnya itu selalu bersikap seperti anak kecil. Padahal ia sudah beranjak dewasa, namun belum bisa mandiri. Amor harus lebih tegas dalam mendidik anak-anaknya, karena suatu saat, mereka harus bisa hidup tanpa bergantung kepada orangtua.
***
Selesai memakai seragam, berhias, mengemasi buku-buku kedalam tas, untuk dibawa kesekolah hari ini. Rily mencoba mengingat-ngingat, apa yang ia lupa. Rasanya, seperti ada yang kurang, tetapi Rily tidak tahu, apa yang ia lupakan.
"Aha! Gue inget," Rily menjentikkan jari. Ia berjalan menuju lemari pakaian, mengambil sesuatu didalam sana. "Pake ini aja, gak mungkin kan, kak David pake hoodie gue." Rily memandangi hoodie hitam ditangannya, hoodie couple yang ia beli, untuk dirinya dan David. Pasangan hoodie di tangan Rily, ia beri pada David sebagai hadiah, saat high five di penutupan Mos, bersama sebuah surat.
Rily menatap sedih hoodie itu, ia teringat dengan mimpinya tadi malam, terasa sangat nyata, bahwa ia mengatakan kepada David untuk mengembalikan hoodie pemberian Rily. Karena Rily merasa pemberiannya sia-sia jika tidak digunakan.
Rily memakai Hoodie itu, yang lumayan kebesaran ditubuh mungilnya, namun terlihat menggemaskan. Menyandeng tasnya, Rily berjalan keluar kamar, menuju lantai satu.
"Kak Rilan mana Ma?" tanya Rily menghampiri Ibunya yang sedang sibuk, berkutat di dapur.
"Di depan, tadi."
"Rily bawa bekal aja ya Ma,"
Amor membasuh tangannya di keran wastafel, ia menoleh kepada Rily. "Loh? Kamu gak sarapan?"
Rily menggeleng, berjalan ke meja makan. "Sarapan di sekolah aja, udah jam segini soalnya."
Amor segera menyiapkan bekal. "Mama harus bilang berapa kali? Anak gadis itu harus bangun subuh, mandi, solat, beresin kamar, pakai baju sekolah, sarapan, berangkat sekolah." Ditatapnya Rily yang sedang mendengus, malas. "Kamu itu kalau di nasehatin, dengerin baik-baik. Jangan sampai kamu nyesel. Hari ini kamu masih bisa, males dengerin nasehat Mama. Nanti, kalau kamu udah kerja, kamu bakalan kangen omelan Mama."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Hurt Me!
Teen FictionDi sebuah taman yang tampak tidak terawat, daun-daun kekuningan bunga yang gugur berjatuhan di atas rerumputan hijau yang basah terkena tetesan rintik hujan. Angin bertiup semakin kencang, sosok gadis berambut sebahu itu menangis sengungukan di bawa...