22. Dua lelaki yang berbeda

466 26 32
                                    

"Udah jatuh cinta sama gue?"

"Udah." jawab Rily dengan kerjapan polos matanya. Tatapan mengintimidasi yang dilayangkan Raka kepadanya, membuat Rily terhipnotis begitu saja.

"Eh, eh! Enggak kok! Ih, kak Vian apaansih!" Rily merengek malu, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Baru sadar, bahwa dirinya kelewat lugu menjawab pertanyaan Raka. "Kak Vian tuh kalo nanya mukanya jangan gitu dong! Datar banget," cibir Rily, menutupi salah tingkahnya.

Raka mendekat, tangannya bergerak naik. Mengacak puncak kepala Rily. "Terus gimana, hm?"





Rily mematung.





Begitu juga dengan Raka yang refleks menurunkan tangan.




"Rily?"


Rily mengerjap, menoleh kepada Ica yang datang dengan raut wajah khawatir.

Ica menutup mulutnya dengan telapak tangan, kaget. "Gue ganggu ya? Maaf, maaf. Tadi Lala suruh gue nyari lo, kelamaan. Takut lo kenapa-napa. Gue pamit ya, kak Raka, Rily. Bye!" Ica membungkukkan badannya sebentar, lalu berbalik badan, hendak melangkah pergi.

Namun Rily langsung mencekal tangan gadis itu. "Ayo!" tangan Rily yang bebas, memegangi dadanya yang berdegup kencang. Ia meninggalkan Raka tanpa menoleh kebelakang. Ica yang tidak tahu apa-apa, hanya bisa menurut saja saat tangannya ditarik oleh Rily.

Raka yang memandangi itu, menipiskan bibir. Ia tersenyum miris. Sudah lama tidak merasakan debaran yang membuatnya candu.

Sesampainya di meja tempat kelompok Ica dan Rily berkumpul. Rily langsung duduk di kursinya sembari memegangi dada. "Gue haus, minum, minum!" serunya tergesa-gesa.

Ica yang selalu membawa botol minum kesayangannya kemana-mana, segera memberikannya pada Rily. "Lo kenapa sih? Padahal abis liat cogan, tapi reaksinya kayak abis liat setan." Ica duduk di samping Rily, memperhatikan gadis mungil di depannya yang sedang meneguk air.

"Tau nih si Rily, disuruh nyari buku gak balik-balik. Keburu siap nih tugas," ucap Lala dan merapikan bukunya yang berantakan. "Enak ya, terima beres." sindirnya tidak sepenuhnya serius.

Rily menutup botol minuman di tangannya, ia tersenyum kecut. "Maaf ya La, gue tadi udah cari bukunya. Tapi nggak ketemu, ya jadi gitu deh." Rily mengedikkan bahu.

Lala mencibir. "Seharusnya lo balik tadi, bantuin gue sama Ica nulis."

"Udah, ikhlasin aja La. Lain kali, kalo kita sekelompok. Rily sendirian yang ngerjain, hehe... "

Rily sontak menoyor kepala Ica. "Yang bener kalo ngomong." ia kembali menatap Lala. "Mau gue traktir gak?"

"Mau!"

"Nyogok lu?"

Rily nyengir kuda. "Kan mau minta maaf," ia mengedip-ngedipkan mata. Berusaha terlihat menggemaskan di mata Lala, agar gadis kurus itu memaafkannya.

"Dih!" Lala mencubit gemas pipi cubby Rily. "Nah, yuk traktir gue sama Ica."

"Yeay!"

"Yaye yaye, sakit nih pipi gue, ah!" Rily mengusap-ngusap pipinya yang memerah. Ia menatap kesal Ica yang sudah melompat kegirangan. "Kuy lah, laper gue." ucapnya dan berjalan keluar pintu perpustakan.

***

Lelaki jangkung itu berjalan santai menyusuri koridor dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana. Baju seragam yang tidak dimasukkan ke dalam celana, dua kancing seragamnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan sedikit bagian atas dada bidangnya. Dasi yang dijadikan heandband, kedua telinga yang tersumpal dengan headset. Tas yang hanya tersampir di bahu kanan, dengan mulut yang sibuk mengunyah permen karet.

You Hurt Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang