29. Debaran

369 29 4
                                    

Bagi Rily, David bukan hanya sekadar pangeran untuknya.

David adalah pahlawan, seperti saat ini, ketika semua membuatnya semakin hancur. David datang menguatkannya, merengkuh erat tubuhnya tanpa bertanya apa yang sedang terjadi, David tahu bahwa ia sedang butuh rengkuhan, bahwa ia sedang lemah.

Jauh dibelakang tubuh mungil Rily, ada Raka yang menatapnya masih dengan tatapan yang sama, datar. Lelaki itu menghela napas, mundur selangkah dan berbalik pergi kembali ke dalam UKS.

Untuk pertama kalinya, ada sosok gadis yang berhasil membuat David begitu khawatir. Gadis yang pertama kali David baca surat cintanya, walau selama ini begitu banyak gadis yang memberinya surat cinta. Namun David hanya menyimpan surat itu tanpa membacanya.

David tidak tahu, mengapa dadanya saat ini berdegup kencang saat gadis itu memeluknya teramat erat dengan tubuh yang bergetar. Ia belum membalas pelukan itu, karena David belum pernah berada di posisi ini. Dipeluk dan memeluk seorang gadis, David sama sekali belum pernah.

"Aku nggak kuat kak..."

Koridor saat ini sepi, karena bel masuk sudah lama berbunyi. Dan sekarang jam mata pelajaran sedang berlangsung.

David mengangkat tangan gugup, perlahan tangannya mendarat di punggung Rily dan kini membalas sepenuhnya pelukan itu.

"Lo kuat, lo pasti bisa."

Rily semakin menangis, entah mengapa ia tidak ingin melepas pelukan ini. Ia takut, saat pelukannya terlepas, ia akan kembali menghadapi dunia yang kejam. Menghadapi orang-orang yang membuatnya takut untuk menjalani hidup, orang-orang yang merendahkan dan meremehkannya. Rily benar-benar takut.

Karena saat ini, dada bidang David adalah tempat paling nyaman untuk bersembunyi dari semua ketakutan-ketakutan itu.

Rily menggigit bibir, ia memundurkan wajah, mengurai pelukan itu. Memberi sedikit jarak dengan dada bidang David yang baju seragamnya sudah basah akibat air mata Rily.

"Aku---"

"Jangan cerita kalau belum siap, itu cuma nambahin beban lo."

Rily menyeka air matanya, ia sudah tidak tersedu-sedu seperti tadi. "Maaf udah buat kak David gak nyaman, aku pasti lancang banget meluk kak David sembarangan."

"Enggak, lo salah, gue nyaman, dan dipeluk sama lo bukan suatu kesalahan."

"Makasih kak..."

"Masih mau nangis?"

Rily menggeleng pelan.

"Ada yang sakit gak? Kepala lo gimana?"

"Sakit, tapi nggak papa kok."

David menghela napas, menangkup kedua sisi pundak Rily. "Jangan bilang gakpapa, kalau sebenarnya ada apa-apa. Gue anterin pulang, mau?"

"Tapi---"

"Gue udah telpon tante kok, tante bilang itu bukan masalah besar."

Tanpa sadar, Rily menghela napas. "Oh ... "

Karena masalah besar buat Mama itu, aku. Bukan keadaanku. Lanjut Rily membatin.

"Kita beli obat dulu, baru pulang. Mau, kan?"

"Hm ... mau kok."

David merangkul Rily, menuntunnya berjalan menuju parkiran.

"Tadi Naza nyamperin gue, katanya tas lo nanti dibawain sama dia. Temen-temen lo juga khawatir. Mereka gak bisa ke UKS karena ada ulangan, tapi Naza ngotot banget mau ketemu lo."

You Hurt Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang