13. Janji

553 39 20
                                    

Rily mengerang kecil, matanya terbuka perlahan hingga kini tersadar sepenuhnya. Ia duduk, menatap sekitar dengan kelopak mata yang membengkak.

Astaga, Rily ketiduran di atas ubin lantai kamarnya tanpa alas. Pantas saja, badan mungilnya terasa pegal-pegal.

Rily beranjak, ia berjalan pelan menuju cermin di kamarnya. Rily menatap pantulan dirinya di cermin, yang masih mengenakan seragam sekolah. Beruntungnya, Rily masih memiliki seragam cadangan. Syukurlah.

Rily berjalan menuju kamar mandi, dan segera melaksanakan rutinitasnya.

Selesai mengenakan seragam cadangannya, Rily meraih tas navy yang jarang ia kenakan. Dan memasukkan semua buku-buku mata pelajaran hari ini ke dalam tas untuk dibawa kesekolah.

Menyandeng tas nya, Rily meraih ponsel yang sudah di isi daya baterainya sebelum mandi, karena semalam daya baterai ponsel Rily habis.

Sebelum keluar kamar, Rily melirik bentar jam weker di atas nakas.

Rily terbelalak.

Ia langsung berlari cepat keluar kamar, menuruni tangga, dan sampai di ruang tengah, Rily memelankan larinya. Ia berjalan pelan di ruang tengah dan berjalan cepat menuju ruang utama. Rily memutar kenop pintu, ia berlari keluar rumah menghampiri Mang Ali yang sedang menyiram tanaman.

"Mang! Buruan anter Rily dong, udah telat setengah jam nih."

Mang Ali langsung melempar asal selang yang sedang ia pegang. Dan mematikan keran air selang.

"Tunggu ya neng, Mang ambil mobil dulu."

Rily mengangguk, menunggu Mang Ali, sopir satu-satunya dirumahnya mengendarai mobil dari garasi hingga kini sudah berada di hadapan Rily.

Rily menoleh bentar ke pintu rumahnya yang tertutup rapat. Ia segera masuk kedalam mobil, menutup pintu mobil kuat hingga menimbulkan suara keras yang membuat Mang Ali tergelonjak, tetapi memilih tidak berkomentar.

"Ayo Mang," ucap Rily datar.

Kali ini, Rily ingin egois. Ia benar-benar tidak peduli lagi dengan hukuman apapun yang akan Amor berikan padanya. Tidak akan.

***

"Yah...."

Rily melengos begitu saja, saat melihat gerbang sekolah HB yang sudah tertutup rapat.

Kenapa akhir-akhir ini kesialan selalu senang mempermainkannya? Kesalahan apa yang telah Rily perbuat, hingga ia harus menerima ini semua sendirian.

Setelah ini, apalagi yang akan menimpa Rily? Rily bersumpah serapah di dalam hatinya.

Gadis itu membalikkan tubuh dari arah gerbang sekolah, kini menghadap jalan. Bahunya bergetar, tidak bisa menahan tetes bening itu jatuh ke pipi bulatnya.

Hingga tepukan seseorang dipundak kecilnya membuat Rily refleks menoleh dengan mata berembun.

"Kak ... Vian?" Rily langsung mengusap air matanya yang membasahi pipi. Ia menggigit bibir, menahan agar tidak kembali menangis.

You Hurt Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang