Rily berjalan memasuki gerbang sekolah Harapan Bangsa. Ia tersenyum cerah, ada dua hal yang membuatnya menyambut pagi ini penuh bahagia. Pertama, ia dan Glapita sudah berbaikan, dan Rily kembali menjadi sekretaris Osis. Kedua, ia dan Raylan sudah tidak saling salah paham satu sama lain. Kedua hal itu benar-benar mengurangi beban di pundak Rily, dan kini pundaknya sudah terasa lebih ringan."Manda!" Rily berlari kecil menyusul Amanda di koridor kelas sepuluh. "Hari ini apa kabar?" tanya Rily sesampainya di samping Amanda.
Amanda mendengus. "Baik, kenapa?"
Rily nyengir kuda. "Gue cuma nanya sih, siapa tahu lo lagi gak baik-baik aja. Dan terharu karena ada gadis secantik gue, yang mau nanyain kabar lo, kan?"
"Hidup gue gak sedrama itu." sahut Amanda datar.
Rily tersenyum menyapa kakak kelasnya salah satu anggota Osis, yang berpapasan dengan Rily dari arah berlawan. "Lo ikut ekstra apa?" tanya Rily kini menatap lurus kedepan.
"Cheerleader, lo Osis kan?"
Rily mengangguk riang. "Gue sekretaris di Osis." ucapnya dan hanya mendapatkan balasan ber-oh-ria dari Amanda. "Lo latihan kapan? Gue mau nonton, boleh gak?"
Amanda menoleh, sedikit terkejut. "Nanti pulang sekolah kita ada jadwal latihan. Lo suka juga liat anak Cheerleader latihan? Biasanya anak cowok doang."
"Gue suka banget malah, kalian keren tahu nggak? Apalagi kakak kelas yang badannya suka di lempar ke atas gitu, gue fansnya dia deh kayaknya. Nama nya siapa sih, kepo gue."
"Kak Elsa?"
Rily mengerutkan dahi. "Kalau gak salah, dia anak kelas sebelas Ipa satu?"
"Iya bener gue, kak Elsa namanya."
"Kak Elsa ya? Dia tuh nyalinya terbuat dari apa sih? Baja? Keren banget tahu nggak, gue yang nonton aja suka ngeri sendiri pas liat kak Elsa dilempar ke atas. Apa gak takut jatuh?"
Amanda terkekeh. "Bukan soal nyali sih, menurut gue. Lo pernah gak, ngelakuin sesuatu yang lo suka. Tapi menurut orang lain itu hebat banget, dan bukan hal biasa dan nggak gampang buat dilakuin. Padahal lo biasa aja pas ngelakuin itu, dan lo baik-baik aja tuh."
Rily berpikir keras. "Namatin novel empat ratus halaman lebih, cuma dua hari?" Rily mendesah. "Tapi menurut gue itu biasa aja, gak ada hebat-hebatnya."
Amanda menjentikkan jari. "Nah, itu maksud gue. Bagi lo itu biasa, karena lo suka baca novel, kan?"
Rily menganggukkan kepala.
"Sedangkan menurut gue, lo luar biasa banget bisa namatin novel empat ratus halaman lebih cuma dua hari? Gue baca satu halaman aja, udah ngantuk nih mata."
"Oh iya, gue paham. Kita hebat di mata orang lain, karena mereka gak suka dan gak bisa atau gak terbiasa ngelakuin itu, kan?"
"Nah, tuh pinter!"
Kini mereka berdua berbelok, memasuki pintu kelas yang terbuka.
"Gue ke Naza dulu ya!" Rily berlari kecil menghampiri mejanya dan Naza. Sedangkan Amanda berjalan santai ke meja bagian sudut kelas, dimana ada Ica yang duduk disana. Dan melambai senang ke arahnya.
"Piwit, degem boleh duduk gak nih?"
Naza yang sedang memainkan ponsel langsung memutar bola mata, jengah. "Pagi-pagi gak usah drama dulu deh." ketusnya dan kembali menatap layar ponsel.
Rily terkikik, ia duduk di kursinya yang bersebelahan dengan Naza. "Za, pagi-pagi udah main hape aja. Nggak bagus tahu,"
"Bilang aja lo iri."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Hurt Me!
Fiksi RemajaDi sebuah taman yang tampak tidak terawat, daun-daun kekuningan bunga yang gugur berjatuhan di atas rerumputan hijau yang basah terkena tetesan rintik hujan. Angin bertiup semakin kencang, sosok gadis berambut sebahu itu menangis sengungukan di bawa...