31. Selalu ada

406 23 9
                                    

Akhir-akhir ini, semua terasa aneh sekaligus membingungkan untuk Rily.

David yang sangat terlihat sedang mendekatinya, lebih dekat dari biasanya. Raka yang selalu mencuri-curi kesempatan untuk menemuinya setiap saat, Rily tidak tahu pertemuannya dan Raka belakangan ini yang terlalu sering, apakah pertemuan itu sebuah kebetulan atau Raka yang selalu mengikutinya kemana-mana.

Rily akui, bahwa ia terlalu percaya diri sebagai seorang perempuan yang penuh kekurangan. Tetapi perubahan ini benar-benar terasa dan mempengaruhi hidupnya.

"Nanti les?"

Rily mendongak, tersadar dari lamunan nya. Ia menatap Naza yang sedang meminun jus. "Iya, selalu." sahut Rily datar.

"Gue juga les,"

"Hm?"

Naza mengaduk-aduk jusnya menggunakan sedotan. "Gue les juga, kenapa?"

Rily menggeleng kecil, selesai mengunyah makanannya, ia meneguk air putih dari dalam gelas. "Les dimana?"

"Sama kayak lo, anak HB banyak yang les disitu. Denger-denger, tutor nya cakep-cakep."

"Za?"

"Ya?"

"Makasih." mata Rily berkaca-kaca. "Gue ngerepotin lo lagi ya?" tanya nya dengan suara bergetar kecil. "Lo baik banget sama gue ... " lirihnya.

Naza meneguk ludah, ia memalingkan wajah. "Udah berapa kali gue bilang, gue ini sahabat lo Ril. Lo nggak pernah sendiri, selalu ada gue disamping lo. Dan lo selalu ada di samping gue."

"Za ... " Rily sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Kantin sedang ramai, ia berusaha membendung air matanya agar tidak jatuh. "Gue ... gue bersyukur banget punya lo Za. Maafin gue ya ... kadang suka egois dan gak mikirin perasaan lo."

Naza terkekeh. "Jangan cuek lagi ya? Gue kangen lo yang ceria, hati gue sakit banget ngeliat lo berubah jadi dingin."

Rily menggigit bibir. "Beneran gak papa?"

"Apanya?"

"Lo?" Rily menundukkan kepala. "Bukannya lo gak bisa terlalu kecapekan ya?"

"Gue les mau nemenin lo doang, bukan mau belajar." Naza tertawa sombong. "Gue selalu juara kalau lo lupa,"

Rily mencebik, walau akhirnya tertawa kecil. "Gue juga kangen lo," ucapnya dengan wajah yang sengaja dimanis-maniskan.

Naza mendelik, jadi geli sendiri. "Balik kelas kuy," ucapnya dan bangkit dari duduk.

Rily menurut, ikut melangkahkan kakinya keluar pintu kantin. "Gue jadi nggak ke perpus gara-gara lo." ucap Rily sembari berjalan di koridor dan memeluk lengan Naza.

"Gayaan belajar, masuk ke otak aja kagak." balas Naza meledek. "Nih ya, kepintaran bukan kunci dari sebuah kesuksesan. Banyak orang pintar, tapi ujung-ujungnya jadi pengangguran. Karena jaman sekarang, bakat sama kreativitas jadi kunci utama buat masa depan. Ya walaupun ada orang yang sukses karena pintar, tapi bukan berarti orang bodoh gak bisa sukses.

"Misalnya, ada orang yang bego kalau berhadapan sama materi atau pelajaran, ilmu pendidikan atau apalah. Tapi dia punya bakat diluar itu, dia berbakat pas praktek, dia berbakat di kerajinan, dia punya suara bagus, dia bisa menciptakan sesuatu yang orang lain gak bisa. So, kita nggak bisa meremehkan kemampuan atau kelemahan seseorang dari satu sisi. Karena di sisi lainnya dia punya kehebatan, dia punya kekuatan."

"Gue paham." sahut Rily enteng. "Tapi Mama nggak paham itu. Menurutnya, kalau gue juara di sekolah, tandanya masa depan gue cerah. Gila sih,"

"Kadang tuh, pemikiran yang kayak gitu harus di musnahkan. Setiap anak punya kelebihannya masing-masing, kan?"

You Hurt Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang