30. Bersaing

342 24 14
                                    

Raka tidak benar-benar tahu, apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Namun yang jelas, wajah tidak berdaya seorang gadis saat itu, terus menghantui kepalanya.

Hujan sedang turun, kini jalanan ibu kota Jakarta cukup sepi. Membuat Raka dengan bebas menancap gas penuh, menuju suatu tempat, yang tiba-tiba muncul di kepalanya saat ini.




Tiiin





Saat pagar rumah itu di buka oleh satpam penjaga yang mengenakan jas hujan untuk melindungi tubuhnya agar tidak basah, Raka memasuki pekarangan rumah besar itu dan sekali lagi menekan tombol klakson motornya ketika ia melewati satpam penjaga rumah itu yang kini kembali menutup pagar rumah.

Dengan tubuh yang basah, Raka turun dari atas motornya. Berlari kecil menuju teras rumah itu, dan melepas helm yang terpasang dikepalanya, menaruhnya di atas meja yang ada di teras rumah itu.

Raka menekan bel rumah itu, namun belum ada tanda-tanda kemunculan seseorang untuk membukakan pintu padanya. Hingga kelima kalinya Raka menekan bel rumah, suara sahutan dari dalam rumah terdengar.

Raka menghela napas, menggosok-gosok kedua telapak tangannya di depan dada kedinginan.

Suara pintu yang terbuka membuat Raka mengangkat pandangan, menatap sosok jangkung dihadapannya dengan tatapan datar. Mendapatkan basalan tidak kalah datar, Raka berdeham, ia jarang berhadapan dengan sosok Raylan yang sedang dalam mode serius.

"Ngapain lo?" tanya Raylan yang terdengar sedikit ketus, tangannya bersedekap.

"Gue mau----"

"Nggak ada yang perlu di jelasin mas!" teriak Raylan tiba-tiba, ia memalingkan wajah. "Aku gak mau dengar apapun lagi dari kamu, sekarang pergi, pergi!" Raylan mendorong tubuh Raka dengan gaya sok manja.

Raka melengos, ia pikir Raylan benar-benar akan marah padanya. "Lan, gue mau serius." ucapnya menahan kedua tangan Raylan yang masih mendorong-dorong tubuhnya.

"Kamu mau serius sama aku?" Raylan hampir saja berhasil memeluk tubuh Raka, jika saja Raka tidak sigap menahan kepalanya.

"Bisa kita ngomong serius?" tanya Raka sembari menahan kepala Raylan, namun saat matanya melirik kebelakang, ia bisa melihat wajah keterkejutan Rily.

"Ri---Rily!" Raka melepaskan tangannya dari kepala Raylan, langsung berlari mengejar Rily yang kembali masuk ke dalam rumah dengan berlari kecil.

"Heh, tikus got, mau kemana lo?" tanya Raylan, dan menahan kerah baju kemeja Raka yang basah dari belakang. "Setelah apa yang lo lakuin, lo berharap gue bolehin lo ngejar adik gue?"

Langkah kaki Raka tertahan, ia memejamkan mata, berusaha mengikhlaskan kepergian Rily dari hadapannya.

Raylan melepaskan kerah baju Raka, ia duduk di kursi yang ada di teras rumah. Raka ikut duduk di kursi samping Raylan yang berbataskan sebuah meja bundar di antara mereka berdua.

"Bentar gue minta ambilin teh, lo perlu ganti baju juga?" tanya Raylan sudah berhenti bercanda.

"Enggak perlu." Raka menegakkan badan saat Rily datang dan membawa nampan yang berisi dua gelas teh hangat.

Setelah melakukan kewajibannya untuk melayani tamu, Rily kembali masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Sesampainya di dapur, Rily menaruh nampan di tangannya di atas wastafel. Ia menundukkan wajah, rambut sebahunya yang tergerai menutupi wajahnya. "Gue gak boleh egois kayak gini ..." lirihnya dan terduduk lemah di ubin lantai dapur. "Gue kenapa sih?!" kesalnya dan menekuk lutut, menyandarkan kepalanya di atas lipatan tangan yang bersandar pada dengkul lutut yang tertekuk.

You Hurt Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang