7. Alamat tanpa sengaja

526 50 48
                                    

Taburin bintang dan spam komentar ya guys!

***

"Eh, Hai Ril ... ini gue, David."

Rily menelan susah payah salivanya. Memandang kagum David dari dalam layar ponsel, lelaki itu sedang mengacak rambutnya yang basah seraya tersenyum ke arah kamera.

"Maaf baru bisa hubungin, tadi lagi ada urusan. Nih, baru siap mandi. Hehe ... "

Senyum itu, rambut basah dan wajah segarnya, kulit putih berpadukan kaus oblong hitam. Seperti sebuah peluru pistol dan anak panah, pemburu profesional bernama David Genza berhasil menembak kan, sebuah peluru dan anak panah itu yang merobohkan dinding kokoh, tembok-tembok menjulang tinggi yang Rily bangun selama ini, runtuh tak berbentuk tepat mengenai hati Rily.

Desiran hangat dan sesuatu yang menggelitik, Rily memegangi dadanya. Takut, jika degupan jantungnya seperti hitungan bom yang siap meledak. Pipinya sudah semerah tomat, ia menggigit bibir bawahnya, ketika David mendekatkan wajah. Dan kini hanya wajah tampannya yang terlihat jelas. Rily diam-diam men-screenshot layar ponselnya. Menangkap wajah tampan David yang sedang tersenyum, tanpa sengaja.

"Malam-malam vidcall nggak papa?"

Rily menggeleng.

"Beneran? Mata lo keliatan lagi nahan ngantuk, kalau ganggu matiin aja telponnya."

Rily langsung melebarkan mata. "Enggak kok," jawabnya dan mengerjap-ngerjapkan mata. Sebelum David menelepon, ia memang menahan kantuk. Namun, saat melihat wajah tampan David, kantuknya langsung hilang begitu saja.

"Serius, nggak papa?"

"Iya nggak papa kak, gue juga masih revisi, jadi kebetulan banget kak David vidcall."

Raylan memicingkan mata, melangkah mundur, berjalan pelan mendekati Rily. "Loh, udah bangun? Tadi katanya mau tidur, kok malah telponan malam-malam. Matiin telponnya!" Raylan tertawa tanpa suara menatap Rily, ia menjulurkan lidah saat Rily memandangnya jengkel.

"Lo dengerin gue, gue itu abang lo! Gue udah ngomong berapa kali ke lo?! Kalo cowok brengsek itu, beraninya ngajakin nelpon pas nyokap-bokapnya gak ada. Tuh buktinya," Raylan berbicara dengan intonasi datar, seperti ia sedang benar-benar marah. Padahal tidak, intonasi suaranya memang datar, namun ekspresi wajahnya santai, ia bahkan mengembang-kempiskan hidungnya, meledek Rily.

Rily menatap David di dalam layar ponsel. David sedang menatapnya tanpa ekspresi, mendengarkan ocehan Raylan dengan saksama.

"Tunggu ya kak, gue urus anak pembantu dulu. Dia autis gitu, jadi suka copslay, jadi abang, Papa, kadang juga ngaku-ngaku jadi pacar gue."

David menyerngitkan alis. "Kirain beneran abang lo."

"He, gue beneran abangnya! Enak aja ngatain gue autis, woi, woi! Minggir lo, gue mau liatin muka gue. Biar dia tahu siapa gue, anak dari CE--"

Rily memutuskan sambungan vidio call sebelah pihak. Ia memandang datar Raylan yang berusaha merebut ponselnya dengan paksa.

Raylan yang tidak terima, masih berusaha meraih ponsel Rily. Namun tangannya berhenti bergerak saat Rily menaruh ponselnya ke dalam baju bagian dada.

"Ambil aja, kalau berani." Rily tersenyum miring. "Anak autis," lanjutnya membuat Raylan memandangnya datar.

"Autis bapak lo!"

"Lo ngatain Papa? Ma ... " Rily berteriak pelan, mengancam. Namun Raylan tidak gentar sama sekali.

"Lo tahu nggak sih, kalau Mama sama Papa itu mungut lo dari panti asuhan. Lo tahu kenapa identitas kita disembunyiin? Itu karena lo, kalau identitas lo dipublikasikan, semua orang bakalan tahu kalo lo anak pungut. Sedangkan kalo identitas gue aja yang di publikasikan, lo dipikir anak haram." Raylan tersenyum miring saat Rily menatapnya jengkel. "Makanya, tahu diri dong, anak pungut."

You Hurt Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang