request oleh Fatniss_
Aomine Daiki itu bukannya pengangguran. Dia hanya manusia kurang kerjaan yang hobi kelayapan dan sering kena damprat emak atau adiknya karena tak kunjung dapat jodoh.
"Kamu itu, lho, ya! Mbok pergi cari pacar sana! Biar emak nggak malu, tiap arisan ditanyain melulu 'si Daiki udah punya istri belum?', 'udah bangkotan begitu, kok belum nikah?' ... kayak emak itu nggak becus nyariin kamu jodoh." Kurang lebih begitu omelan sang emak, kadang-kadang sambil mengacung-acungkan gebuk kasur atau bahkan wajan panas yang baru diangkat dari kompor.
Aomine sudah angkat tangan saja kalau begitu. "Up wae," kalau kata anak-anak di bagian selatan negara +62 nun jauh di sana.
Hari ini, Aomine berjalan-jalan ke hutan tepi desa setelah kena omel emaknya untuk yang kesekian kali. Sambil misuh sepanjang jalan, Aomine bermain-main dengan ranting dan dahan pohon di dekatnya. Maklum, dia 'kan sudah seperti gantar yang digunakan emak untuk mengambil jambu di dahan yang tinggi—maksimal, vroh!
Ketika sedang asyik menikmati pemandangan dengan lantunan umpatan dari bibir, Aomine mendadak berhenti karena mendengar bunyi air danau yang saling adu dengan tepi danau—seperti ada ombak yang menimbulkan keributan besar. Maka lelaki itu hendak merangsek ke danau, tetapi ia dikejutkan dengan kehadiran beberapa selendang warna-warni di dekat batu besar.
"Whalah, anjir, punya siapa ini?" Aomine bertanya-tanya sendiri, keheranan. Ia berjongkok, memilih-milih kain persegi panjang itu, mengangkat-angkatnya ke udara. Iseng saja dia mengantungi satu, berpikir: 'mayan, lah, buat oleh-oleh emak di rumah'.
Ia bangkit setelah menyembuyikan dengan aman selendang kuning yang berkilauan seperti emas. Yakin 100 persen Daiki, mah, kalau emaknya pasti bakal suka.
Setelah meninggalkan tumpukan selendang itu, Aomine mendekat ke danau untuk memeriksa sesuai rencananya di awal tadi.
Alamak! Terkejut dia! Ada 7 wanita cantik tengah berendam di danau besar itu. Bercanda ria seolah dunia hanya milik mereka sambil sesekali saling mendorong hingga terjatuh ke dalam air. Syukurlah, mereka muncul lagi ke permukaan. Kulit mereka bersinar begitu terang, bagai matahari turun ke danau itu—menyilaukan Aomine—meski rambut mereka sewarna pelangi. Ada merah, kuning, hijau, biru muda, dan ungu.
Eh? Kok kayak kenal kombinasi itu? –Aomine, 30th, bujang lapuk.
Aomine ingin menetap di sana sampai makhluk-makhluk indah itu keluar dari air dan berpakaian, tapi Aomine sadar ia perlu menunjukkan bahwa meski jones ia bisa memberi emaknya hal yang menyenangkan.
Maka, pulanglah pemuda itu ke rumahnya yang tak jauh dari sana.
Ternyata Aomine keliru besar. Sampai di rumah, dia langsung disambit golok karena membawa pakaian milik orang asing.
Emak tahu benar Aomine tidak bekerja dan tak punya uang jika tak meminta padanya, jadi pasti selendang tersebut (kendati indah) pasti bukanlah barang baik-baik.
"Balikin ke yang punya, sana! Balikin! Kalau nggak kamu balikin, nggak usah balik-balik ke sini lagi!" usir Emak dengan nada tinggi.
Nurut 'aja Aomine, mah. Meski hari sudah petang, ia kembali menyusuri jalanan setapak tengah hutan demi mengembalikan selendang yang dicuri.
Sayangnya, danau itu sudah sepi. Tidak ada lagi tawa riang para makhluk langit yang teramat bersinar itu. Aomine dengan ragu melangkah ke sana, sedikit kecewa.
Meski begitu, Tuhan agak berbaik hati pada Aomine kali ini.
Di kejauhan, Aomine melihat kemilau emas tengah menunduk sedih di dekat batu besar tempatnya menemukan selendang-selendang tadi. Terdengar isakan pelan dari makhluk itu.
Aomine lantas mendekat. Ia terpesona pada manusia kuning itu. Matanya yang sewarna madu berkilau, sayu, karena terlalu banyak menangis.
Ia mengenakan baju kebaya sederhana yang pas di tubuhnya.
Tapi kok bentukannya agak ...
Aomine serius mendekat. Ia berdeham.
Sosok itu lantas menoleh. Buru-buru melompat mundur.
"Buset, Mak, cakep bener," pikir Aomine mengagumi wajah manis sosok di hadapannya itu. "Kamu kenapa di sini?" tanya Aomine, sok baik.
"Siapa kamu?!" hardik sosok itu, keras.
"Cuma orang yang lewat," kata Aomine, sok misterius.
Sosok itu mengernyit curiga. "Aku tidak bisa pulang!" katanya, air matanya mengalir lagi. "Selendangku hilang. Apa kamu melihatnya, wahai orang yang hanya lewat?"
Orangnya cantik benar, tapi kok suaranya ...
"Aku jatuh cinta padamu," kata Aomine langsung tembak, tidak perlu basa-basi ia berlutut, "lalu akan kuberikan hal paling berharga buatmu."
Sosok itu mengernyit. "Aku tidak mengenalmu," katanya, jelas-jelas mencoba menolak.
"Cinta tidak butuh saling mengenal," bantah Aomine. "Akan kukembalikan benda yang penting untukmu asalkan kamu menikah denganku."
Sosok itu melotot. Alisnya menukik marah. Ia langsung menyingkap rok yang ia kenakan, memposisikan diri dengan gaya mengancam ala-ala preman. "Gua cowok, woi!" teriaknya dengan suara terjantan yang dimilikinya. "Gue Kise Ryouta! Adek bungsu dari 6 bidadari bersaudara. Meski mbak-mbak gue bidadari, bukan berarti gue cewek juga. Sialaaaaaan!"
Aomine cengo. "Hah?"
"Gue cowok!" kata Kise lantas membuka baju atasnya—memperlihatkan dada bidang dan perut sixpacknya yang terbentuk sempurna.
Mendadak pucat, Aomine seketika muntah. Ia melemparkan selendang kuning milik Kise pada pemuda itu lalu dengan perut melilit berlari pulang ke rumah.
"Ya Allah, malu!" jerit Aomine di tengah pelariannya.
25 mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterflies
أدب الهواةKami tak menyinggung cinta. . . . . . Kami tak pernah menyalahkan perasaan. . . . . . Bukan sebuah kesalahan jika ada banyak hal tak terduga dalam diri kami. . . . . . Hanya perasaan meluap yang butuh dilampiaskan. Dan saat kami melakukannya, seo...