Anak Jaman Sekarang - Aomine Daiki x Adagaki Hime

369 21 0
                                    

Entah kenapa sejak pagi tadi Adagaki merasa diawasi. Pergerakannya terasa dibatasi saat ini. Seolah ada sepasang cctv yang dipasang di berbagai sudut yang menyorot padanya.

Sama sekali tak nyaman.

Tengah hari, seorang pemuda berkulit gelap yang sejak tadi tampak mondar-mandir di seberang jalan melangkah memasuki apotek Iki. Meletakkan tas ke bangku di dekat rak obat kemudian menghampirinya yang berdiri di belakang meja utama.

“Halo, Mbak,” sapanya sok akrab.

Adagaki mengernyit, “Ya? Ada yang bisa Saya bantu?”

“Yang mau membantu kan Mbak, kenapa tanya ke aku?” si pemuda malah nyolot.

Membuat Adagaki mencibir, ‘Anak jaman sekarang, tak tahu sopan santun,’ dengan dongkol sembari mengamati pemuda di hadapan.

Pemuda ini tinggi untuk ukuran bocah SMA, Adagaki tahu dari jersey yang dipakai si pemuda, di balik kaos putih yang mendasari jersey itu terlihat sixpack yang tercetak jelas karena keringat yang membanjir. Baunya...

Ewh, Adagaki sampai mengernyitkan hidung saat bau keringat bercampur dengan bau tak sedap hingga menimbulkan kombinasi ‘busuk’.

“Mbak tahu obat, ‘kan?” tanya si pemuda tiba-tiba.

“Ya, begitulah. Kalau Saya tidak paham obat-obatan, Saya tidak akan bekerja di sini,” balas Adagaki agak sinis, “Bukan berarti aku mau menyombongkan diri atau apa.”

Si pemuda berkulit gelap mengernyit, “Mbak mirip sama seseorang,” ujarnya. Mengingat-ingat kemudian tersenyum aneh.

Adagaki berjengit was-was.

“Ah udahlah, aku mau tanya obat, Mbak.”

“Silakan.”

“Obat batuk apa, Mbak?”

“Berdahak atau kering?”

“Kalau berdahak apa, kalau kering apa?”

Adagaki mendecak, “Minum saja Konidin OBH,” ujarnya kesal.

“Hah? OBH?” ulang si pemuda terdengar heran, lalu menyeringai aneh.

Adagaki facepalm, “Bocah mesum,” geramnya pelan.

“Kalau obat pusing apa?” tanya si pemuda lagi.

Adagaki berpikir sejenak, “Tergantung pusing yang bagaimana,” jawabnya.

Pemuda itu mengangguk-angguk.

Hening.

Adagaki hendak mengusir pemuda itu, tetapi yang hendak diusir malah merangsek maju, mendekatkan diri ke arah Adagaki.

“Kalau obat kangen, apa, Mbak?” tanya pemuda itu. Seringai timbul dan alisnya dinaikturunkan jahil, bermaksud menggoda si apoteker berwajah manis.

Jemari pemuda itu terulur. Dengan lembut menyentuh helaian pirang Adagaki. Memilinnya pelan.

Risih, Adagaki beringsut mundur. Pemuda yang hendak merangsek maju lagi tertahan meja kaca berisi jajaran obat.

“Kamu mau beli apa, sih?! Kalau kamu cuma cari gara-gara, lebih baik pergi!” usir Adagaki kesal.

Pemuda itu terkekeh, “Enggak beli apa-apa, sih, cuman tanya-tanya ‘aja...”

“Pergi atau saya lapor ke satpam!” ancam Adagaki.

Pemuda itu mendengus, melepaskan pilinan pada rambut Adagaki dan melangkah mundur. Mengambil tasnya dan memberikan kiss bye sebelum melangkah pergi.

Adagaki Hime menggeram kesal, merasa dipermainkan oleh pemuda yang belakangan ia ketahui sebagai Aomine Daiki--biang onar di kompleks perumahan tersebut.

***
!The End!

ButterfliesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang