Melaju lagi mobil sedan Alvin yang sempat terhenti sejenak pada memori masa lalunya. Kenapa dia mengingat seseorang yang bahkan tidak memiliki kenangan apa-apa bersamanya?"Sok melankolis," celetuknya pada diri sendiri.
Sekumpulan orang dengan passion yang sama itu, sudah berkumpul di lokasi alam terbuka nan hijau.
Komunitas mereka kali ini kedatangan tamu, seorang fotografer senior yang sudah malang melintang di dunia fotografi selama belasan tahun.
Pria paruh baya itu membagi pengalamannya, membahas segala teknik dan kendala yang ia hadapi selama menggeluti dunia fotografi. Banyak ilmu yang ia sampaikan kepada para fotografer muda yang tergabung dalam komunitas fotografi tersebut. Ia berkata bahwa menjadi seorang fotografer di Indonesia itu selain masalah teknik, atittude pun berperan penting.
Alvin mengangguk tanda setuju pada ucapan fotografer senior itu. Pertemuan rutin komunitas fotografinya yang berlangsung selama tiga jam itu pun selesai.
~ ~ ~
"Vin, besok kamu ada waktu?" tanya Fatimah di sela-sela aktivitas Alvin.
"Kenapa, Bu?"
"Besok kita jenguk Kakakmu, ya?"
Alvin terdiam.
"Vin ...?"
Alvin mengangguk berat. Tidak tega membiarkan ibunya sendirian menyambangi lapas.
"Ya sudah, jangan begadang. Kalau sudah selesai cepetan tidur," kata Fatimah sembari berlalu.
Alvin mengembuskan napas kasar, setelah Ibunya menghilang dari balik pintu.
"Nggak usah di tenggokin sih, Bu. Orang kayak gitu mah biarin aja," gumamnya sambil terus berkutat di depan laptop.
Di sisi lain, Alvin merasa bagaimanapun juga kakaknya tetaplah saudaranya. Jauh di lubuk hati kecilnya Alvin pun merindukan kakak laki-lakinya itu. Walau mereka lebih seperti Tom and Jerry yang tidak pernah akur.
~ ~ ~
"Ini, Ibu bawain makanan kesukaanmu, Zal."
Rizal mengangguk. Alvin yang duduk di hadapannya hanya melipat kedua tangan di depan dada, dengan pandangan yang dibuang ke sembarang arah. Dua kakak beradik itu terlihat kaku.
"Kamu baik-baik aja 'kan, Zal?"
"Iya, Bu," jawab Rizal singkat.
Ponsel Alvin berdering, segera ia menerima panggilan. Beranjak dari tempat duduk dan berjalan menjauh dari sana.
Tu anak bener-bener songong. Rasanya pengen gue tonjok aja mukanya, gumam Rizal dalam hati sambil menatap Alvin dengan tatapan membunuh.
Alvin kembali. "Bu, ayo kita pulang sekarang. Aku masih ada kerjaan," kata Alvin sedikit buru-buru.
"Baiklah kalau begitu." Fatimah perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya.
"Kamu jaga diri baik-baik ya, Zal," katanya lagi sembari memeluk, terdengar isak tangis lirih.
Fatimah kemudian melepas pelukannya dari Rizal, mengusap sudut matanya yang basah. Alvin terdiam, saatnya ia yang harus berpamitan. Sorot mata dua kakak beradik ini bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa (COMPLETED)
RomanceBagi Alvin, Via adalah satu nama yang mewakili segala rasa. Cinta, rindu, bahagia, sedih, kecewa bahkan hancur.