Rasa #17

425 47 92
                                    


Secangkir teh hangat, Alvin letakkan di atas meja, berharap bisa membuat Via sedikit rileks.

"Minum dulu, Vi."

Via hanya mengangguk pelan.

"Aku akan jelaskan semuanya, Vin." Via memulai obrolan seriusnya setelah menyeruput teh.

menghirup oksigen ruangan sebanyak yang ia bisa. Mengumpulkan kekuatan untuk mulai membuka rahasia yang selama ini  disimpan. Alvin terlihat serius menatap ke arahnya.

"Aku--"

"Sebenarnya aku ... udah tunangan." Via tertunduk.

Alvin terkejut.

"Tapi ... semuanya berubah."

"Semuanya berubah sejak aku bertemu denganmu, Vin." Via menatap ke arah Alvin yang duduk di sebelahnya. Alvin hanya diam menunggu kalimat apa lagi yang akan diucap oleh Via.

"Aku sempat naif. Berusaha menerima dengan lapang dada, calon suami yang pernah kupergoki tengah mesra bersama wanita lain di dalam apartemennya, tepat di hari ulang tahunnya." Sebulir cairan bening mulai jatuh.

"Aku berpura-pura semuanya baik-baik aja di depan kedua orang tua kami, juga di depan semua orang."

"Aku melewati semua itu sendiri. Sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu, Vin."

Alvin mencoba merasakan apa yang Via rasakan. Tak melihat kepura-puraan dalam mimik wajah cantik itu. tak ada kebohongan dalam mata indah itu.

"Sekarang, semuanya berbeda. Aku benar-benar ingin mengakhiri ini." Via menyeka sendiri air matanya.

"Aku udah berkata jujur, Vin. Terserah kamu mau percaya atau nggak." Via pasrah.

Alvin meraih kedua telapak tangan Via, mengenggamnya. "Aku percaya," ucapnya tanpa ragu sedikit pun. Ini membuat Via merasa lega, sangat lega.

"Aku memilihmu, Vin," ucap Via direspons Alvin dengan tatapan penuh arti. Alvin menyentuh belakang kepala Via lalu membenamkan wajah Via di dadanya.

Terdiam, Alvin berpikir apakah posisinya saat ini layaknya orang ketiga? Namun, Alvin tidak begitu memedulikannya. Saat ini yang terpenting adalah Via bahagia. Jika Via memilihnya itu adalah jalan takdir.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita ini sebelumnya, Vi?"

"Aku takut, Vin."

Tangan Alvin mengusap lembut puncak kepala Via.

"Apa kamu berpikir, kalau aku menjadikanmu sebagai pelarian, Vin?" Via menarik kepalanya yang bersandar di dada Alvin, mencoba mencari jawab dalam mata sipit itu.

"Sedikit," jawabnya disusul cengiran.

"Serius, Vin!"

Alvin memasang mimik serius kali ini. "Kalaupun aku adalah pelarianmu, aku pastikan kamu berlari ke arah yang tepat."

"Vin ... maaf." Via tak dapat menyembunyikan rasa haru, juga rasa bersalahnya.

"Udah-udah, jangan nangis lagi, ya." Alvin merengkuh Via ke dalam pelukannya lagi. Berusaha membuatnya nyaman. Sesungguhnya selama ini dia berhasil melakukan itu.

***

Goresan pensil menari indah di atas kertas putih. Hari ini Via terlihat bahagia, mulai dengan rutinitasnya lagi, mendesain lagi, memantau kerja pegawai dan semua hiruk pikuk workshop-nya.

"Ya? Masuk," ucap Via ketika mendengar pintu diketuk. Raut wajahnya mendadak masam saat mengetahui siapa yang kini berada di hadapannya.

Rasa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang