Rasa #22

403 48 62
                                    

Angin berembus pelan menerpa wajah bingungnya, menerbangkan helaian rambut panjangnya yang terikat. Terduduk sendiri di kursi taman, Via masih menimang-nimang apakah ia harus memenuhi interupsi Eric untuk datang ke apartemennya.

Getar ponsel mengalihkan lamunannya. Satu chat membuatnya gelisah. Eric masih berusaha mengintimidasi, membuatnya termangu sesaat. Via terlihat ragu-ragu, Lalu mengembuskan napas panjang sebelum benar-benar beranjak dari kursi taman.

Langkahnya kini terayun menuju kamar rawat inap Alvin, dengan maksud pamit pada Fatimah kalau ia ada urusan sebentar dan berjanji akan kembali setelah selesai.

Meski berat, Via memenuhi tawaran Eric untuk bertemu di apartemennya. Sepertinya Via harus memperingatkan Eric untuk tidak menganggu Alvin lagi, juga hubungannya dengan Alvin.

Sesaat setelah melakukan perjalanan  menuju apartemen Eric, akhirnya Via sampai.

Via memarkirkan mobilnya di basemen apartemen Gardenia Boulevard. Eric  menyambutnya yang kini sudah berada di area basemen. Matanya berbinar ketika melihat Via akhirnya datang menemuinya.

"Lewat sini, Sayang."

"Nggak! Di sini aja. Sekarang katakan apa maumu?"

"Hei ... nggak usah buru-buru, kita bisa minum dulu di dalam. Cuaca Jakarta siang ini sangat panas ."

"Nggak usah bertele-tele, deh, Ric!"

"Jangan galak-galak, Vi. Ayo!" Eric menarik tangan Via, mengajaknya masuk ke dalam apartemennya melalui pintu basemen. Lalu menaiki lift menuju lantai tujuh belas. Di dalam lift yang hanya ada mereka berdua, Via berusaha menjaga jarak.

Sesekali Eric melirik ke arah Via yang tampak tak acuh. Pria itu mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tiap jengkalnya adalah candu.

Sesaat mereka sampai. Keluar dari pintu lift, mereka berjalan sejenak dari sana, Eric membawa masuk Via ke dalam unit apartemennya bernomor 172 lalu menguncinya.

"Selamat datang, Sayang!" seru Eric sambil merentangkan kedua tanganya, lalu melangkah menuju ruang utama. Sementara Via masih berdiri di balik pintu.

"Kenapa masih di situ? Masukklah."

Via melangkah ragu, lalu menghentikan lagi langkahnya. Ini membuat Eric kesal lalu mendekatinya.

"Kenapa wajahmu seperti orang ketakutan?" ucap Eric melangkah pelan dengan sorot mata elangnya yang menusuk. Eric memgambil langkah maju, membuat Via mundur.

"Kamu mau apa, Ric?"

"Apa aja, di sini hanya ada kita berdua." Eric menyeringai.

"Jangan macam-macam kamu, Ric!"

"Memangnya kenapa?"

Semakin Eric maju, semakin Via mundur.

"Kalau kamu macam-macam, aku akan membunuhmu!" gertak Via yang hanya direspons Eric dengan tawa.

"Bahkan aku rela mati di pelukanmu, Sayang."

"Menjijikkan!"

"Oh, ya?"

Satu langkah mundur terakhir bagi Via. Tubuhnya sudah membentur pintu. Via tidak berkutik. Pintu terkunci dengan kode yang hanya Eric yang tahu.

Eric sudah berada tepat di hadapannya, menatap dalam-dalam. Jemari Eric mulai menyentuh pipinya, lembut tapi terasa menyiksa bagi Via.

"Apa maumu, Ric?"

"Aku mau ... kamu, Vi." Wajah Eric mendekat, mengikis jarak.

Via memiringkan wajah, sebisa mungkin menghindar.

Rasa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang