"Ric ... kita sama-sama gagal menjaga ikatan ini. Apa lagi yang harus dipertahankan?" ujar Via berusaha membuat Eric menerima keputusannya.Eric menarik perlahan kedua tangannya yang menangkup wajah Via. Bersandar lemas pada jok mobil. Menatap kosong ke depan. Lagi-lagi penolakan yang ia dapat. Harapan pernikahan yang tinggal selangkah lagi sepertinya harus ia kubur dalam.
"Ric?"
Tak menjawab juga dengan raut kecewa, Eric melajukan mobilnya ke jalanan. Rute yang ditempuh adalah arah menuju pulang.
Hening sepanjang jalan. Via terus melempar tatapannya ke kaca jendela. Sama-sama membisu.
Sesaat mereka sampai, Eric melangkah masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata lagi. Via mengerti Eric sangat marah, tetapi semua ini memang harus segera diakhiri.
***
"Ayo makan dulu, Nduk," kata Suwarti mempersilakan Via bergabung di meja makan. Via hanya merespons dengan anggukan.
"Mbok! Panggil Eric," titah Suwarti pada asisten rumah tangganya.
"Njih, Bu."
Sesaat kemudian simbok datang dan berkata, "Mas Ericnya bilang 'duluan aja', Bu."
"Kenapa tu anak, mau sakit maagnya kambuh lagi?" Suwarti sudah hampir bangkit dari duduknya, bermaksud menghampiri Eric.
"Eum ... biar aku aja yang panggil, Ma."
"Oh, ya sudah. Tolong, ya, Nduk." Suwarti kembali lagi pada posisi duduknya.
Via melangkah ragu ke arah kamar Eric. Mengetuk pintu.
"Eric, makan, Ric!"
Pintu dibuka, mereka saling menatap.
"Mama menunggu di meja makan."
"Aku nggak selera. Temani Mama makan sana." Eric menutup pintu kembali, tapi ditahan oleh Via.
"Aku juga mau bilang ... besok aku harus pulang ke Jakarta. Aku nggak bisa lama-lama di sini."
Ucapan Via mendapat sorot tajam dari Eric. "Kenapa? Kamu udah kangen, ya ama dia?" kata Eric dengan senyum sinis.
Via mengembuskan napas kasar. "Udahlah, emang harusnya aku nggak usah ngomong. Lagian kita juga udah nggak ada hubungan lagi." Via memutar tubuh hendak melangkah, tetapi Eric mencekal tangannya.
"Apa? Nggak ada hubungan?" Eric menarik Via masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintu. Masih dengan tangan yang mengunci pergelangan Via.
"Aku nggak akan lepasin kamu begitu aja, ya, Vi!"
"Apa sih, Ric. Lepas!" katanya sambil mencoba melepas cengkeraman Eric.
"Kita belum benar-benar selesai, ya, Vi!"
Sejenak mereka hanya saling melempar tatapan.
"Lepas, Ric. Aku nggak mau berdebat lagi. Mama menunggu." Suara Via melembut.
Eric melepaskan cengkeramannya. Tak ingin membuat mamanya menunggu juga tak ingin membuat wanita di hadapannya ini menangis lagi. Eric sadar akhir-akhir ini sering membuatnya menangis.
Via bergegas membuka pintu, terhenti menoleh sesaat ke arah Eric dengan tatapan tanpa arti.
***
Mengenakan t-shirt putih polos celana training panjang, sepatu warna senada, serta tak lupa juga headset yang menutup salah satu lubang telinganya, Eric baru saja sampai di rumah setelah berkeliling kompleks perumahan mencari keringat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa (COMPLETED)
RomanceBagi Alvin, Via adalah satu nama yang mewakili segala rasa. Cinta, rindu, bahagia, sedih, kecewa bahkan hancur.