Rasa #26

408 47 59
                                    


Rombongan keluarga duka dan para pelayat telah tiba di tempat pemakanan terdekat, untuk mengantarkan almarhum Suwarti ke peristirahatan terakhirnya.

Suasana sendu menyelimuti area pemakaman. Terutama Eric yang tak kuasa menahan kesedihannya, menyembunyikan mata sembabnya di balik kacamata hitam yang ia kenakan.

Para pelayat yang memenuhi area pemakaman itu turut menyampaikan bela sungkawa atas kepergian Suwarti. Turut hadir juga di sana Via beserta kedua orang tuanya, Siska dan Andre serta kerabat dan tetangga dekat yang mengenal Suwarti dengan baik.

Simbok dan Surip yang setiap hari melihat Suwarti kini merasa hampa, tak peduli nasib mereka setelah ini, yang pasti mereka sangat kehilangan. Suwarti sudah seperti keluarga mereka sendiri, yang sudah seperti bagian dari hidup mereka pergi dan tak akan pernah kembali.

Air mata menitik dari setiap pasang mata yang mengenal sosok Suwarti semasa hidupnya yang dikenal amat baik. Tak terkecuali Via, dia merasa sangat kehilangan---seorang wanita paruh baya yang hampir saja menjadi ibu mertuanya itu.

Sosoknya selama masih hidup samar-samar terlintas di benaknya. Bagaimana Suwarti memperlakukannya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Suwarti adalah ibu mertua idaman bagi setiap anak menantu. Meluncur lagi segaris air mata Via saat mengenang Suwarti. Air mata yang entah sudah berapa kali ia usap.

Jasad Suwarti yang terbalut kain kafan mulai dimasukan ke liang lahat secara perlahan, Eric menyaksikan itu, hatinya sesak melihat ibunya sebentar lagi menghuni tempat gelap dan sunyi itu. Eric sudah mengikhlaskan ibunya, dia terlihat lebih tegar hari ini.

Perlahan jasad Suwarti tertimbun tanah hingga menjadi gundukan yang masih basah. Eric dan kerabatnya menabur bunga di atas pusara. Prosesi pemakaman berakhir dengan lantunan doa dan ayat suci dari seorang pemuka agama.

Satu per satu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Namun, Eric masih disana, masih berlutut di samping tanah pekuburan ibunya.

Via mendekat, ikut berlutut di sampingnya, menyentuh bahu Eric untuk memberi support. Eric hanya menoleh sekilas ke arah Via, lalu kembali larut dalam rasa kehilangannya. Kehilangan seorang ibu yang kini sudah berada di alam yang berbeda. Seorang Ibu yang tidak akan pernah ia temui lagi.

"Ma ... semoga Mama tenang," ucap Eric Lirih, hampir tak terdengar.

***

Malam harinya diadakan acara tahlilan di kediaman Eric, hadir sanak saudara dan tetangga sekitar. Hadir pula Via di sana.

Ayat-ayat suci kembali menggema di sudut ruangan, semua terlihat khusuk mengirim doa untuk Suwarti.

Susana sunyi senyap begitu terasa ketika Eric berada di rumah. Tidak ada lagi Suwarti yang selalu menyambut kedatangan anak laki-laki satu-satunya itu, tidak ada lagi petuah-petuah bijak yang selalu diselipkan setiap ibu dan ank ini bertemu. Kini tinggal dia seorang diri, kedua orang tuanya telah berpulang. Perasaan pedih masih saja menyelimuti batinnya.

Setelah acara tahlilan di rumahnya itu usai, Eric menyendiri di taman belakang rumah. Duduk di tepi kolam ikan dengan air mancur kecil di tengah-tengahnya.

Eric menyulut sebatang rokok yang berada di sela-sela jari. Menyesa dalam-dalam sebelum mengepulkan asapnya di udara, hanya untuk sekadar membuatnya sedikit rileks.

Matanya menatap kosong ke arah kolam, sesekali ia tertunduk lesu. Via memperhatikannya dari jauh, lalu memutuskan untuk mendekatinya.

Kini Via sudah duduk di kursi yang sama dengan Eric, membuat pria itu menoleh sesaat, lalu buru-buru mematikan rokoknya. Tangannya mengibas udara sekitar--menghalau asap rokok yang masih tersisa.

Rasa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang