"Oke, sampai ketemu lagi.""Eum ... apa hari ini kamu sibuk, Vi?" tanya Alvin secepat mungkin--menahan Via pergi.
Via berpikir sejenak. "Nggak juga, sih, Vin. Kenapa?"
"Gimana kalau kita makan siang dulu."
Via tersenyum, menampakkan barisan giginya yang rapi. "Boleh."
Memang seorang pria harusnya begini, 'kan? Memulai semuanya lebih dulu. Wanita hanya menunggu, batin Alvin.
Alvin dan Via sudah duduk berhadapan di sebuah restoran Jepang, memesan menu makanan yang didominasi oleh sushi.
"Hebat kamu, Vi. Udah punya label baju sendiri." Alvin membuka obrolan, sambil memasukan potongan sushi ke dalam Mulutnya.
"Belum hebat juga, Vin. Masih terus berusaha berkembang."
"Itu udah hebatlah, Vi," pujian Alvin membuat wanita itu tersenyum dengan sedikit menunduk sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Anggun ..., batin Alvin sambil mengunyah sushi-nya.
"Butuh perjuangan untuk bisa sampai ke titik ini, Vin. Dan itu enggak mudah."
"Ya, pasti! Seperti menaiki anak tangga, 'kan? Setiap satu langkah yang berhasil kita pijak, akan ada banyak hal yang kita lalui."
"Bener banget, Vin."
"Dulu ... kita hanya anak SMA yang masih meraba masa depan. Setiap pagi berangkat ke sekolah, dengan ikut serta membawa harapan kedua orang tua kita ke dalam lembar demi lembar pelajaran yang kita terima."
Via tertegun, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Alvin. Terdengar bijak.
Via tersenyum. "Kamu ternyata orangnya asyik juga, Vin. Kenapa dulu kita nggak pernah ngobrol seperti ini, sih?"
Alvin mengigit bibir dalamnya. Itu juga yang aku sesali, Vi. Kemudian bertemu tatap dengan Via dalam beberapa detik. Alvin mengalihkan pandangannya dengan melahap lagi sushi-nya.
"Dulu ... mungkin aku terlalu minder."
"Terlalu minder, apa terlalu dingin?"
"Nggak, lah, Vi. Waktu SMA, aku nggak masuk kategori cowok dingin dengan segala pesonanya. Hanya siswa biasa yang tidak menonjol sama sekali."
"Sama, aku juga."
"Kamu mah masih banyak yang naksir, Vi."
"Nggak ada, Vin."
"Ada."
"Siapa?"
Lagi-lagi Alvin menatap intens ke arah Via.
"Hayo, siapa?" goda Via diiringi tawa kecil yang khas.
"Pasti ada."
"Kamu jangan-jangan, Vin?" tuduhnya pada Alvin yang hanya direspons Alvin dengan senyuman.
"Bercanda, ya, Vin."
"Serius juga nggak apa-apa."
"Hah? Serius?"
Alvin mengeluarkan kamera DSLR dari dalam ransel miliknya.
"Mau aku foto, Vi?"
"Nggak ah, ntar kameramu meleduk."
"Kok meleduk, ini kamera bukan kompor."
"Nggak, ah!"
"Ayolah, Vi, sekali aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa (COMPLETED)
RomanceBagi Alvin, Via adalah satu nama yang mewakili segala rasa. Cinta, rindu, bahagia, sedih, kecewa bahkan hancur.