Rasa #24

401 41 53
                                    

"Masuk." Suara Eric menjawab pintu ruangannya yang diketuk.

Seorang wanita mengenakan kemeja lengan panjang model rampel warna cream, juga bawahan rok bahan warna hitam selutut itu, memasuki ruangan dengan langkah anggun.

"Ini laporan keuangan yang Bapak minta," kata wanita itu sambil mengulurkan map warna biru muda berisi dokumen laporan.

"Oh ya, terima kasih."

"Sekalian saya ingin menyampaikan ini, surat undangan dari presdir kita, Pak."

Surat undangan itu sudah berpindah ke tangan Eric. Surat undangan berbentuk persegi warna gold dengan foto kedua calon pengantin sebagai sampul itu terlihat mewah.

Petinggi perusahaan tempatnya bekerja sebentar lagi akan menggelar pernikahan untuk putri sulungnya.

"Kalau gitu saya permisi, Pak." Ucapan asistennya itu direspons Eric dengan anggukkan dan kalimat 'terima kasih'.

Dilihat lagi undangan itu sesaat sebelum meletakkannya di atas meja. Mendadak pikirkannya menerawang, betapa bahagianya andai saja dia bisa menikahi Via. Ya, Via lagi dan lagi. Via terus yang memenuhi kepalanya. Eric tersentak seperti teringat sesuatu. Terlintas lagi bayangan itu, samar-samar.

Pria itu menompangkan gadunya pada punggung tangan yang bertumpu di atas meja, mengingat-ingat kembali sebuah mimpi atau apalah itu.

Via?

Eric ingat kalau yang berada dalam mimpinya tempo hari itu adalah Via. Dalam mimpinya Via berdiri anggun dengan gaun pengantin, sepertinya dalam mimpi itu mereka akan menikah. Eric kemudian tersenyum konyol. Apakah itu karena ia merindukan Via?

Diembuskannya napas dalam-dalam. "Bakalan datang ke kondangan sendirian nih, huft!"

***

Eric sudah tampil rapi dengan setelan kemeja putih dan celana bahan, serta jas warna hitam yang membalut tubuh atletisnya. Akan mengherankan pria Sepertinya datang ke kondangan sendirian, tetapi tak masalah toh memang itu kenyataannya. Eric hanya bisa datang ke pesta pernikahan petinggi perusahaan tempatnya bekerja, sendirian saja.

Eric sudah memasuki ballroom hotel, tempat perhelatan itu digelar. Para tamu sudah memadati ruangan resepsi tersebut.

Semua orang terlihat rapi dan elit. Tidak heran, si empunya hajat adalah petinggi dan pemilik perusahaan yang pasti mengundang semua relasinya.

"Pak!" Sebuah suara membuat Eric menoleh.

"Eh, Vika?"

"Bapak sendirian?" tanyanya sambil mengulurkan tangan ramah. Eric lalu menjabatnya.

"Ah ... iya." Eric tersenyum simpul pada asistennya di kantor itu saat ketahuan hanya datang sendiri.

"Kamu sama siapa?"

"Saya sama temen staff yang lain, Pak."

"Oh."

Eric dan Vika masih terlibat obrolan ringan sambil menikmati suasana resepsi. Pandangan Eric sesekali mengedar lalu terkunci pada satu sudut. Wanita berbalut gaun warna biru muda, dengan model bahu yang sedikit terbuka itu membuatnya tertegun, membuatnya tidak berkedip. Sampai akhirnya pandangan mereka bertemu. Rasanya Eric bersyukur bisa melihat Via hari ini, walau tidak bisa lagi menyentuh. Paling tidak Rindunya sedikit terobati.

Rasa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang