"Bikin babak belur aja. Jangan sampai mati!" Eric memberi perintah pada orang suruhannya dengan mata berapi-api.Kebencian tersirat jelas dari sorot mata itu. Bagaimana tidak? Kalau bukan karena 'dia', Eric sudah pasti akan mempersunting wanita idamannya.
"Rasain!" Senyum sinis menyungging di bibirnya. Disesapnya dalam-dalam rokok batang, kemudian mengepulkan asapnya di udara. Di dalam kamar apartemennya, Eric hanya sendirian meratapi diri. Menuangkan lagi minuman berwarna kecokelatan dari botol beling, kemudian meminum cairan itu hingga tandas, mengulanginya lagi terus-menerus hingga kepalanya terasa berat. Ini adalah cara ia bersulang atas kegagalannya. Kini matanya terpejam sempurna, deru napasnya tidak teratur, dan mengoceh tidak keruan.
Eric masih saja tidak bisa menerima bahwa hubungannya dengan Via sudah berakhir. Matanya terpejam penuh, sampai membawanya ke alam bawah sadar.
Sebuah siluet berdiri anggun membelakanginya, dengan balutan gaun pengantin warna putih, rambut yang tersanggul indah dengan mahkota. Auranya memancar seperti seorang putri dari negeri dongeng. Wanita itu menoleh tepat ke arahnya, wajah cantik itu terlihat murung.
Via?
Eric membuka matanya perlahan. Cahaya matahari menerobos masuk dari celah jendela membuat matanya menyipit, mengerjap. Ia menegakkan tubuhnya yang ternyata semalaman tertidur di sofa. Kepalanya masih terasa berat.
Terduduk sejenak mengumpulkan kesadarannya. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu yang terlintas di kepalanya. Sebuah gambaran apa semalam? Mimpi apa itu?
Eric mengucek matanya, segera bangkit untuk bersiap ke kantor, hingga membuatnya tidak memedulikan lagi tentang mimpinya semalam.
***
"Vi ...." Suara itu membuat si pemilik nama terdiam sesaat. Sebuah pelukan lalu dia rasakan dari tubuh wanita yang sudah lama tak bercengkerama dengannya.
"Vi, gue nggak tahu harus ngomong apa? Kenapa selama ini lo nggak cerita apa-apa ke gue?"
Via hanya tertunduk di hadapan sahabatnya itu sesaat setelah dia melepaskan pelukannya. "Gue nggak tau harus gimana, Sis?"
"Maafin gue, Vi. Gue nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gue ikut sedih."
"Semuanya sudah terjadi, Sis. Dan semuanya sudah berakhir."
"Alvin? Gimana hubungan lo sama dia?"
"Gue sayang sama dia."
Siska menatap wajah sendu sahabatnya itu. Siska memeluknya lagi, menyalurkan kekuatan padanya.
"Gue sedih, bukan karena hubungan gue sama Eric berakhir. Gue sedih udah mengecewakan mamanya, mengecewakan kedua orang tua gue, Sis." Meluncur lagi segaris air mata Via.
Siska mengusap lengannya, berusaha menenangkannya.
"Aku dan Eric sama, kami sama-sama gagal, kami sama-sama berkhianat." Air mata yang tadinya gerimis berubah lebat.
"Sstt ... udah, ya, yang udah, ya udah, Vi."
Via menutup wajahnya dengan satu telapak tangan, mencoba menahan laju air mata yang sudah terlanjur membasahi pipi.
Siska pun ikut berkaca. "Seharusnya lo cerita ke gue. Lo jangan terlalu mandiri jadi orang. Sampai-sampai masalah serumit ini lo tanggung sendiri"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa (COMPLETED)
RomanceBagi Alvin, Via adalah satu nama yang mewakili segala rasa. Cinta, rindu, bahagia, sedih, kecewa bahkan hancur.