"Maafin aku, Vi.""Lepas!"
"Aku nggak akan pernah lepasin kamu." Eric mengeratkan lagi dekapannya. Seolah isyarat kalau ia tidak akan melepaskan Via untuk orang lain.
"You're mine!"
"Itu dulu!"
"Kita menikah, Vi! Jangan menunda lagi," kata Eric, mencengkeram kedua lengan Via kali ini.
Via menggeleng pelan.
"Apa lagi? Bukannya kita impas? Kamu udah bales aku, 'kan, Vi!"
"Semuanya udah nggak seperti dulu lagi, Ric."
Hening. Eric terdiam lama.
"Aku harus bagaimana? Katakan, Vi. aku harus bagaimana?" Suara Eric memelemah.
"Aku nggak bisa lagi nikah sama kamu, Ric."
"Karena laki-laki itu, hah?"
Tak ada jawaban.
"Segampang itu, Vi?"
Via membuang pandangan.
"Mamaku sangat menginginkan kamu jadi menantunya. Kamu nggak berpikir sampai ke sana?"
"Jangan jadikan Mama sebagai senjata, ya, Ric!"
"Pikirkanlah lagi."
"Aku udah memutuskan ... kita sampai di sini."
Eric mematung, sorot mata mereka bertemu.
Kedua tangan Eric mengepal kuat di sisi tubuh, lalu berbalik arah tanpa sepatah kata lagi. Keluar sambil membanting pintu.
Sepeninggal Eric, segaris air mata Via luruh. Apakah mereka benar-benar berakhir seperti ini?
~~~
Dua cangkir kopi hitam, menghias meja kayu jati berbentuk oval di pagi hari ini.
Terlihat Anto sedang mengobrol santai dengan calon menantunya. Tentu saja Anto masih berpikir demikian, tidak tahu menahu hal pelik yang terjadi di antara anak gadisnya dengan pria di hadapannya ini.
"Mamamu gimana, Ric, sehat?"
"Mama sehat, Pak. Siang ini saya akan ke Jogja."
"Sama Via, 'kan?"
Eric tertunduk. "Sendiri, Pak."
"Lhoh kenapa?"
Sementara Via muncul, sudah dengan pakaian rapi. Seperti biasa ia akan memulai rutinitasnya.
"Via!" panggil Anto saat melihat anak gadisnya itu muncul.
Via melangkah mendekat. Mengenakan dress abu-abu dengan riasan natural. Via terlihat anggun sampai membuat Eric lupa berkedip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa (COMPLETED)
RomanceBagi Alvin, Via adalah satu nama yang mewakili segala rasa. Cinta, rindu, bahagia, sedih, kecewa bahkan hancur.