Rasa #23

438 43 62
                                    


Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit, akhirnya hari ini Alvin sudah diperbolehkan pulang.

Via tidak pernah absen selama Alvin berada di rumah sakit. Ia selalu ada untuk kekasih hatinya itu.

"Istirahatlah, Vin," kata Via sesaat setelah mereka sampai di kediaman Alvin.

"Aku udah sembuh, Vi."

"Kamu masih masa pemulihan, Vin. Jangan bandel!"

Alvin terkekeh melihat sikap Via yang hari ini sedikit galak.

"Makasih, ya, Vi. Kamu selalu ada buat aku," ucap Alvin tulus sambil memandangi Via penuh cinta.

Rasanya badan yang dibuat remuk oleh segerombolan orang yang diduga adalah suruhan Eric itu, tidak seberapa dibandingkan harus kehilangan wanita di hadapannya ini.

Alvin paham dan memilih menerima kemurkaan Eric atas dirinya, yang bisa dibilang ikut andil dalam kehancuran hubungan mereka.

"Iya, udah sekarang kamu istirahat, Vin. Aku harus balik sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan. Nggak apa-apa, 'kan aku tinggal?"

"Nggak apa-apa gimana? Aku bisa mati kalau kamu tinggal," ujarnya sambil meraih tangan Via.

"Astaga ...."

Alvin tertawa. "Ya udah, hati-hati, ya, Cinta."

"Via, Vin bukan Cinta."

"Iya, Via tercinta."

"Hemm ... kayaknya dokter salah, deh, ngebolehin kamu pulang."

Alvin terkekeh.

***

Di workshop-nya, Via terlihat sibuk mencatat kain bahan yang hampir habis stoknya di gudang. Hari ini asistennya tidak masuk, terpaksa Via sendirilah yang turun tangan.

Dengan note book di satu tangan, sementara tangan lain memegang pulpen, Via luwes mencatat nama-nama bahan yang perlu di-restock.

Sampai satu panggilan menganggu aktivitasnya. Melihat nama yang terpampang di layar, menciptakan ekspresi datar di wajahnya.

Ada apa lagi Eric menghubunginya? Ia abaikan panggilan itu sampai berakhir dengan sendirinya.

Setelah selesai, Via beranjak dari gudang kembali ke ruangannya. Mengeluarkan ponsel untuk menghubungi tempat grosir kain langganannya. Namun, panggilan Eric menyela, masih Via abaikan sesaat. Sampai entah perasaan apa yang akhirnya membuatnya menerima panggilan itu.


"Hallo?"

"Vi?"

"Kenapa, Ric!" tanyanya sedikit ketus.

"Aku masih boleh nelepon, 'kan?" Suara Eric terdengar berharap.

Via terdiam sesaat di telepon. "Apa masih ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Enggak. Kalaupun ada, aku rasa kamu udah nggak mau mendengarnya lagi, Vi."

"Terus?"

"Aku cuma pengen denger suara kamu, Vi."

Entah mengapa jantung Via berdesir, suara Eric terdengar pilu di telinganya.

"Ngomong aja, Vi. Apa aja, aku cuma pengen dengar suara kamu," kata Eric lirih.

Rasa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang