Rasa #16

449 49 83
                                    


Alvin tak mengerti, apa yang sedang terjadi saat ini? Seorang pria tiba-tiba  mengaku sebagai calon suami Via. Benarkah?

Panggilan masuk dari Via sempat ditatapnya datar. Tak diangkat. Alvin masih tidak tahu harus bagaimana sekarang.

Setelah panggilannya tidak diterima, Via mengetik pesan di ponselnya. Ia bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sudah pasti dengan pikiran kacau juga mata yang sembab. Via mengirimkan pesan itu, berharap Alvin akan mengerti.

Terdengar suara pintu berderit, membuatnya menoleh, lalu buru-buru menghapus air mata ketika tahu siapa yang datang.

"Lhoh? Kenapa nangis, Nduk?" tanya Suwarti heran.

Via menggeleng.

"Kenapa? Cerita sama Mama, Sayang." Suwarti mendekat, kini sudah duduk di samping Via.

"Kalian bertengkar?"

Via hanya mengangguk tak tahu harus menjawab apa.

Suwarti dengan penuh kasih sayang mengelus kepala Via dengan lembut. "Ada apa? Apa yang membuat kalian bertengkar?"

"Nggak apa, Ma. Hanya hal sepele." Tidak mungkin Via menceritakan masalah yang sesungguhnya terjadi, ini terlalu rumit.

"Pasangan bertengkar itu lumrah. Yang penting selesaikan masalah dengan kepala dingin."

Air mata Via mengalir lagi, pikirannya  kacau sekarang. Tak tahu harus dari mana ia mengurai masalah ini.

"Sudah-sudah, nanti Mama bilangin ke Eric, supaya kalian bisa bicara baik-baik. Mama harap kamu bisa memahami sifat Eric yang keras," kata Suwarti sambil memeluk Via.

"Mama ingin kalian cepet nikah. Jangan ngejar karir terus. Mama ingin nimang cucu. Mama sudah tua, nggak tahu sampai kapan lagi umur Mama."

"Ma ... Mama jangan bilang begitu," kata Via melepas pelukan, menggenggam tangan Suwarti.

"Iya, Sayang." Suwarti mengangguk memeluk Via sekali lagi, mengusap punggungnya. Pelukan itu terasa nyaman bagi Via, seperti oase di tengah gurun masalah.

Sebelumya, Via memang merasa beruntung bisa memiliki calon mertua sebaik Suwarti yang menyayanginya selayaknya anak sendiri, sepaket dengan calon suami tampan dengan karir cemerlangnya. Ini adalah impian setiap wanita. Ini juga impiannya dulu. Namun, sekarang semuanya sudah berbeda.

Impiannya menikah dengan Eric sudah perlahan sirna. Hatinya sudah benar-benar berpaling. Namun, tidak tahu bagaimana cara mengakhiri semua ini.

"Nduk, Mama titip Eric ke kamu, ya." Ucapan Suwarti membuatnya termangu. Terdengar seperti amanat yang diembankan padanya.

"Ma?" Via melepaskan Pelukan Suwarti dan menatapnya bingung.

Suwarti mengusap lengan Via. "Eric sangat mencintaimu, mengagumimu, dan Mama rasa kamu adalah wanita yang tepat bersanding dengannya. Kalian harus saling menjaga satu sama lain."

Via speechless.

"Mama akan bicara sama Eric." Suwarti kemudian beranjak.

Via terpaku di tempat. Begitu besar harapan Suwarti padanya, pada pernikahannya dengan Eric--anak semata wayangnya. Pada pernikahan yang tidak akan pernah terjadi. Via Memejam berat, semuanya terasa rumit sekarang.

***

"Eric, kamu ada masalah apa sama Via?"

"Nggak ada, Mah," jawab Eric datar, dengan pandangan yang tidak berpindah dari layar laptopnya.

Rasa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang