Rasa #1

1.9K 175 329
                                    

Rimbun pepohonan yang menjulang tinggi, begitu mendominasi lokasi pemotretan kali ini. Alvin dan tim sedang melakukan persiapan pemotretan prewedding klien di kawasan hutan pinus, Bogor. Nuansa alam yang teduh begitu kental di sini, sesuai dengan tema pemotretan.

Kedua klien itu bersiap, berpose mengikuti arahan Alvin. Selain fotografer, Alvin juga piawai dalam hal penataan gaya.

"Oke, tahan!" kata Alvin memberi aba-aba.

"Sekarang kalian saling menghadap, saling menatap dalam dan ... penuh cinta," kata Alvin lagi memberi arahan sekaligus menggoda kedua calon pengantin, hingga membuat keduanya tersipu.

Satu per satu pose berhasil diambil. Kedua kliennya itu terlihat puas akan hasil pemotretan mereka.

"Terima kasih ya, Mas Alvin," tukas klien wanita itu pada Alvin.

"Panggil Alvin aja, Mbak Siska."

"Oh ... kalau gitu panggil, Siska aja."

"Siap."

"Sampai ketemu lagi nanti di hari H ya, Mas." Klien pria itu mengulurkan tangan kemudian dijabat oleh Alvin.

"Siap, Bos."

Urusan pemotretan hari ini selesai. Alvin dan tim bertolak ke Jakarta saat hari mulai senja.

***

Di studionya, Alvin masih berkutat dengan pekerjaan mengedit pada bagian yang perlu diedit. Ia ingin mempersembahkan yang terbaik untuk kliennya.

Pekerjaannya ini harus selesai sesuai deadline. Hasil foto prewedding itu nantinya akan menjadi pelengkap dekorasi ballroom resepsi. Di mana foto prewedding itu akan diletakkan di sudut-sudut penting pada ballroom.

Alvin sesaat terdiam mengamati senyum bahagia dari kedua kliennya itu. Asli, itu bukan hasil arahan Alvin. Senyum itu terlihat tulus.

Senyum kebahagiaan yang terpancar dari hati. Siapa pun pasti akan sebahagia itu jika bisa bersanding dengan seseorang yang dicintai, menyatu dalam ikatan suci, menghabiskan sisa hidup bersama nanti. Apakah itu juga akan terjadi padanya? Pertanyaan ambigu itu terlintas. Nyatanya, kisah asmaranya selama ini selalu berakhir pahit.

Alvin membuang pikiran yang mengganggunya tadi. Kembali fokus pada pekerjaannya, ditemani secangkir kopi hitam dengan rasa pahit yang berkombinasi dengan rasa manis. Perpaduan rasa yang pas, layaknya sebuah kehidupan yang selalu beriring dengan rasa pahit, dan manis melengkapi.

***

Matahari terbit menjadi awal memulai hari. Alvin membuka mata, mengerjap, mengumpulkan kesadarannya.

"Sarapan dulu, Vin," kata Fatimah saat melihat Alvin berjalan menuju meja makan sudah dengan pakaian rapi. Alvin mengangguk lalu mengisi piringnya dengan nasi goreng buatan Ibunya.

Ia harus mengisi energi pagi ini, ditemani sosok Ibu yang selalu ada untuknya. Jangan tanya tentang Ayah. Ibunya adalah single parent. Perceraian kedua orang tuanya sudah benar-benar ia terima. Termasuk kakak laki-lakinya yang mendekam di penjara akibat kasus narkoba.

Seorang kakak yang harusnya menjadi pengganti sosok ayah untuknya sekarang ini. Namun, nyatanya justru menjadi pelengkap kesemrawutan dalam hidup keluarganya, terutama Ibunya.

"Hari ini mau kemana, Vin?"

"Ketemuan sama temen-temen komunitas, Bu," jawab Alvin sambil mengunyah.

"Mau Ibu bawain bekal?"

"Nggak usah, Bu. Kayak anak kecil aja."

Fatimah terkekeh.

Mobil sedan Alvin kemudian melesat di jalanan meninggalkan kompleks perumahannya. Kini ia tengah dalam perjalanan menuju tempat pertemuan komunitasnya.

Alvin mengurangi laju mobilnya, ketika melintasi sebuah SMA Negeri, masih di daerah Jakarta. Mobilnya lalu benar-benar berhenti tepat di seberang jalan.

Dari dalam mobil, Alvin terdiam memandangi bangunan sekolah itu. Di sanalah Alvin melalui waktu tiga tahunnya dengan tidak mudah.

Memori masa SMA-nya berputar ....

Dengan seragam putih abu-abu, Alvin berangkat ke sekolah menaiki bus. Tatapannya lalu bertemu dengan seseorang yang ia kenal, seseorang yang memakai seragam yang sama sepertinya itu tengah duduk sendiri. Tempat duduk di sebelahnya kosong. Namun, Alvin melewatinya begitu saja. Memilih duduk di sebelah penumpang pria paruh baya yang berjarak dua kursi darinya tadi.

Bus berhenti tepat di persimpangan jalan. Alvin turun dari bus, mulai melangkah melewati trotoar. Butuh berjalan kaki selama kurang lebih lima menit untuk bisa sampai di sekolahnya.

Seseorang yang tadi ia temui di dalam bus berjalan di depannya. Rambut panjangnya yang hitam lurus itu hanya digerai saja. Sesekali helaiannya terbang tertiup semilir angin. Langkahnya terlihat anggun. Alvin terus memandanginya yang berjalan memunggungi dan hanya itu yang terjadi sampai mereka memasuki gerbang sekolah.

Alvin mengerjap. Tersadar dari lamunan, kemudian menghela napas.

Seandainya saat itu aku mengambil langkah maju menjadi sejajar denganmu, berjalan beriring, mungkin kita akan mengobrol, mungkin saja kita akan punya cerita yang berbeda.

Alvin mencengkeram kemudinya, menoleh lagi sesaat pada bangunan di seberang jalan yang menjadi saksi bisu akan masa-masa SMA-nya yang tidak seindah apa yang sering dikata orang.

🔆🔆🔆

vote dan komen 💬 🌟
Terima kasih sudah mampir 🙏

Rasa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang