26

1.2K 58 9
                                    

Suasana hening di depan ruang UGD. Tangisan Lina sudah mereda. Ia kini dipeluk oleh Luke yang sedaritadi mencoba menenangkannya. Sedangkan Adhan hanya duduk di sebelah Lina. Menyesali keputusannya untuk menembak tadi. Seharusnya ia ikut meninju dua orang tadi.

"Lina!" Seru seseorang dibarengi dengan deru langkah cepat yang sanagt jelas terdengar di lorong rumah sakit.

"Lina, bagaimana keadaanmu?" Tanya Vyn.

"Aku tidak apa-apa, mom. Aku baik. Tapi, Al tidak," jawab Lina.

"Bagaimana bisa?" Tanya Lim.

Adhan berdiri dari duduknya. Kepalanya memang terangkat, namun matanya terus menatap ke bawah.

"Ini salah saya, tuan. Saya berniat untul menembak dua orang yang menyerang Al, akan tetapi malah meleset dan mengenai Al. Saya minta maaf, tuan," ucap Adhan.

"Kita urus itu nanti. Sekarang kita lebih baik berdoa agar Al baik-baik saja," ucap Lim.

Luke terdiam. Ia tak mengerti. Semua terjadi begitu cepat.

"Dad, aku mau ke gereja besok. Apa kalian mau ikut?" Ucap Lina.

"Maaf, Lina. Aku berbeda agama. Aku hanya akan menjaga dari luar," ucap Adhan.

"Kalau kau, Luke?"

"Ah, aku ada pekerjaan besok. Jadi, aku tidak bisa ikut. Maaf," ucap Luke.

Lina hanya mengangguk. Ia tak mau berbicara terlalu jauh.

Tak lama kemudian dokter pun keluar dari ruangan itu. Semua berdiri dari duduknya.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" Tanya Lim.

"Keadaannya baik-baik saja. Kakinya yang terkena timah panas juga tidak mengalami apapun. Tidak terlalu dalam. Jadi, kalian bisa tenang," ucap dokter itu.

"Kami akan memindahkan pasien nanti setelah dia siuman. Dia masih berada dalam keadaan dibius sementara waktu," lanjut dokter itu.

Semuanya menghela nafas lega. Tak ada yang perlu diseriuskan. Mungkin.

*****************************

Ia bosan sebenarnya. Sudah hampir seminggu ia ada di rumah sakit. Al belum dibolehkan pulang oleh dokter. Ia masih dalam masa penyembuhan. Sungguh, kerjaannya selama sakit hanya makan dan tidur. Tanpa turun sedikitpun dari ranjang rumah sakit.

Al bangkit dari tidurnya yang membosankan itu. Menurunkan tubuhnya dan membawanya menuju jendela rumah sakit. Entah dia berada di lantai berapa yang pasti ia bisa melihat seluruh rumah di dekat rumah sakit dimana ia dirawat. Memandang langit cerah berawan. Tak ada hujan selama beberapa hari belakangan.

Tak ada yang menjaganya selama ia sakit. Mereka hanya akan menjaganya saat malam saja. Ia tak punya keluarga lagi. Bahkan ayahnya saja tak tahu kemana.

Lina sendiri kini disibukkan dengan perusahaan Al yang terbengkalai semenjak pria itu masuk rumah sakit. Si kembar sibuk dengan kuliah mereka. Lim dan Vyn tak mungkin menjaganya 24 jam.

Al menghela nafas. Menyadari kalau kini ia mulai sendirian. Semuanya sibuk. Semuanya punya dunia mereka masing-masing.

Tak terasa air matanya keluar. Rasanya sakit. Dulu, ia yang menyakiti mereka secara fisik. Oke, bukan hanya fisik, tapi mental juga. Ia dulu mengira kalau ia tak membutuhkan seseorang untuk menemaninya karena menurutnya hal itu hanya akan menghambatnya. Namun, rasanya ia menyesal sekarang. Ia membutuhkan seseorang. Ia rapuh sekarang.

Tears for Love and Happiness Where stories live. Discover now