Duduk sendiri di pinggir pantai membuat Lina bosan. Ia merindukan rumah. Anak-anaknya. Semua. Ya, hampir semua. Kecuali Al. Rasa cintanya serasa hilang dibawa angin.
Ingin rasanya ia menelepon keluarganya, namun ia sadar. Itu sama saja dengan memberi celah pada mereka agar bisa menemukannya.
Lina beranjak dari bibir pantai. Ia melangkahkan kakinya menuju rumah kecil yang menjadi tempat tinggalnya di pulau itu. Mencoba melupakan memang sulit, apalagi Al, sosok yang sangat dicintainya. Apa yang harus ia lakukan terhadap perasaannya kini? Membuangnya? Atau menjaganya? Keputusan yang sangat sulit. Berada di antara dua pilihan yang entah harus dikatakan menguntungkan atau merugikan. Hah, sudahlah. Ia hanya ingin melupakan semua masalah kemarin untuk sementara. Ya, sementara dalam artian waktu yang tidak bisa ditentukan.
*****************************
Adhan tengah berada di Indonesia saat ini. Dengan pesawat pribadi keluarga tuan Lim tentu saja. Ia berada di Indonesia untuk melacak keberadaan Aland dan Athala. Hah, dua bos mudanya itu selalu membuatnya pusing. Menghilang begitu saja tanpa tahu bagaimana keadaan keluarga mereka. Juga, Lina yang menghilang. Pujaan hatinya.
Berbicara tentang pujaan hati, bagaimana kabar Lina? Kemana dia? Tak ada yang tahu. Semua orang di bawah kekuasaan tuan Lim belum membuahkan hasil. Termasuk dirinya. Dan sekarang ia diberi tugas untuk mencari Aland dan Athala karena terakhir mereka berada di Indonesia.
"Kenapa mereka menghilang seperti hangu, sih?" Dumal Adhan. Untung saja ia orang Indonesia jadi tak susah berbicara dengan orang-orang lokal di sana.
Adhan bersama beberapa bawahannya beranjak dari bandara menuju sebuah hotel di Jakarta. Tentu dengan fasilitas yang terbilang sangat mewah.
Adhan merebahkan tubuhnya pada ranjang hotel. Tubuhnya sangat pegal karena duduk berjam-jam selama perjalanan. Ia harus bekerja besok. Hah, dia harus tidur sekarang.
Adhan berjalan menuju kopernya, mengambil beberapa potong pakaian dan menuju ke kamar mandi. Ia butuh membersihkan tubuhnya, lalu kembali tidur. Besok ia sudah harus bekerja.
***********************
Athala terbangun dengan wajah yang lesu. Ia terlihat pucat. Aland yang melihat itu merasa heran sekaligus khawatir. Keponakannya itu tidak pernah terlihat seperti itu. Apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah kemarin ia terlihat baik-baik saja?
"Ada apa denganmu? Pucat sekali. Apa kau sakit?" Tanya Aland.
"Hanya pusing. Paman tenang saja. Mungkin karena begadang kemarin," ucap Athala.
"Jangan masuk kuliah kalau begitu. Aku tidak mau kau sakit," ucap Aland.
"Oh, ayolah. Aku hanya sakit pusing biasa. Kenapa paman terlalu khawatir?"
"Aku yanya tidak mau kau pingsan saat di kelas nanti. Aku akan meminta izin pada dosenmu kalau kau sakit. Jangan membantah." Baiklah kali ini Athala hanya bisa diam, tak berani membantah. Percuma membantah, toh, ujung-ujungnya ia akan tetap kalah dari Aland.
Athala duduk di kursinya. Ia mengambil semangkuk sup dan menyuapkannya pada mulutnya. Ah, hangatnya sup itu mengalir ke tenggorokannya. Masakan buatan pamannya memang yang terbaik. Ah, bahkan ia lupa bagaimana rasa masakan ibunya.
Ibu. Ah, ia jadi rindu pada Lina. Sedang apa dia sekarang? Kalau saja pamannya mau memberitahukan dimana Lina berada ia tak harus terus-terusan merasa rindu akan kehadiran sosok sang ibu. Kalau diberitahukan ia pasti bisa merasa rasa rindunya meringan.
Ia melihat pamannya kembali dan duduk di sampingnya. Ponselnya ia taruh di sampingnya. Ia mengambil nasi dan beberapa lauk ke piringnya.
"Paman," panggil Athala.
YOU ARE READING
Tears for Love and Happiness
RomancePRANG!! BAK! BUK! Semua barang dalam ruangan itu pecah dan tak berbentuk lagi. Suara kesakitan menerjang tubuh si wanita yang tak lain adalah istri seorang CEO terkenal. Tubuhnya dipukul menggunakan cambuk dan ditendang-tendang bagaikan binatang. Pr...