28

1K 58 6
                                    

Langkah kaki berlari menyusuri lorong dengan dinding berwarna putih. Tak peduli dengan perawat dan dokter yang berlalu lalang. Yang dipikirkan oleh beberapa orang itu adalah keadaan seseorang.

Al, Aland, Arlika, orang tua Lina, Luke, Adhan, dan si kembar berlari menuju ruang tempat Lina dirawat. Mendapat pesan bahwa Lina mengalami kecelakaan membuat mereka panik dan berlari menuju rumah sakit.

Terlihat mata Vyn dan Lim yang terus mengeluarkan air mata, pun juga dengan Al dan Aland.

Sesampainya mereka di depan pintu ruang UGD, semua terdiam. Al merosotkan tubuhnya terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menangis sejadi-jadinya. Sedang Aland yang menangis sambil memeluk kedua orang tuanya. Arlika mendekat ke arah kakaknya dan memeluknya dari belakang. Luke dan Adhan hanya bisa diam. Dan si kembar yang saling memeluk.

Butuh waktu beberapa jam sampai dokter keluar. Begitu sang dokter keluar ia diserbu berbagai pertanyaan oleh Al.

"Tenang semua, tenang. Kondisi pasien sedang kritis. Ia kehilangan banyak darah dan ada beberapa luka serius di beberapa bagian tubuhnya. Untuk saat ini yang bisa kita lakukan adalah berdoa dan menunggu dia sadar. Saya permisi," ujar dokter itu.

Tubuh Al kembali meluruh ke bawah. Kembali menangis histeris mendengar ucapan dokter tadi. Meraung-raung memanggil nama Lina dan terus berucap kata "Tidak Mungkin".

Tak lama kemudian beberapa polisi mendekat. Menyerahkan beberapa tas Lina pada mereka.

Keadaan sangat sunyi. Keheningan melanda. Bahkan yang bisa dilakukan hanya menangis dalam diam. Saat semua nyaris tertidur hanya Al yang masih membuka matanya. Enggan menutup kedua matanya. Si kembar kini tertidur di pangkuan Lim dan Vyn. Sepertinya si kembar lelah sehabis menangis.

Al beranjak dari duduknya. Ia masuk ke dalam ruang UGD. Memegang erat tangan Lina. Air matanya kembali mengalir melihat kondisi Lina yang sekarang.

Diusapnya pelan pipi Lina, mengecupnya lembut di bagian kening. Membawa kembali pada kenangan masa remaja. Dimana ia berkata bahwa ia mencintai Lina. Namun, itu semua hanya sebuah kebohongan. Setelah menikah barulah dirinya yang sebenarnya muncul. Menyiksa wanita itu. Membuatnya menangis setiap saat.

"Maafkan aku." Hanya kata itu yang bisa keluar dari bibirnya. Mengelus lembut rambut istrinya.

Terdengar suara pintu terbuka dan tertutup. Suara langkah kaki mendekat. Al mendengarnya, namun begitu enggan melepas pelukannya pada Lina. Hingga bahunya ditepuk oleh seseorang. Itu adalah Aland.

"Ini bukan salahmu. Semuanya murni kecelakaan. Jangan salahkan dirimu atas apa yang terjadi," ucap Aland.

"Ya, aku tahu itu. Hanya saja, kenapa cepat sekali terjadi? Baru saja ia akan terlepas dari pekerjaan kantor milikku, tapi malah musibah yang datang," ucap Al.

"Mungkin memang takdir?"

"Takdir yang sangat tidak baik."

"Selalu begitu. Dari dulu memang nasib Lina tidak pernah baik."

Al terdiam. Wajahnya berubah masam saat Aland mengatakan itu. Kenapa diungkit sih? Dia merasa jadinya. Lina tidak bahagia juga karena dirinya.

"Lebih baik kita keluar dari sini dan biarkan Lina beristiharat. Kau juga harus tidur Al. Tidak mungkin kau begadang sampai pagi," ucap Aland.

Al mengangguk. Ia dan Aland pun keluar dari ruangan itu. Membiarkan Lina tidur sampai ja sadar.

*********************

Axel dan Athala kini tengah berada di sebuah caffè. Mereka baru saja pulang kuliah. Sungguh kebetulan mereka punya jam kuliah yang sama. Jadi, mereka bisa berangkat dan pulang kuliah bersama hari ini.

"Kapan mama bangun, ya?" Tanya Athala entah pada Axel atau pada dirinya sendiri.

"Mungkin suatu hari nanti," ucap Axel.

"Kau ini."

Mereka terdiam sejenak. Memikirkan sesuatu hal entah apa itu. Sesekali menyesap minuman yang sudah mereka pesan.

"Kalau mama pergi bagaimana?" Tanya Athala tiba-tiba.

"Jangan bicara seperti itu!" Ucap Axel.

"Aku hanya berkata 'kalau', bukan berarti aku mendoakan," ucap Athala.

"Omongan itu doa," ucap Axel.

Athala hanya mendengus kesal dan kembali menyesap minumannya.

"Ayo kembali ke rumah sakit," ucap Axel sembari berdiri.

Athala membelalakkan matanya. Secepat itu? Hei, mereka baru saja sampai dan hanya memesan minuman tanpa makanan. Ia lapar.

"Tak bisakah kita diam sebentar lagi? Aku ingin memesan makanan," pinta Athala.

"Tidak. Ayo." Axel menarik lengan adik kembarnya itu beranjak dari caffè itu. Ya, walaupun Athala tidak rela.

**************************

Bisakah ia merasakan dicintai lagi? Hanya sekali saja.

Bisakah ia merasakan bagaimana lembutnya elusan tangan itu di pipinya?

Al rindu semua itu. Semua yang dilakukan oleh Lina padanya saat mereka masih berpacaran dulu.

Ia masih tetap di sana. Posisinya tak berubah. Masih memandang Lina sembari menggenggam tangan kanan Lina erat. Berharap mata indah itu akan terbuka.

Ia terus berdoa. Berdua untuk kesembuhan sang istrinya. Bahkan ia yang dulunya jarang sekali ke gereja kini setiap minggu rajin datang ke gereja hanya demi Lina. Ia mungkin akan terus berdoa dan ke gereja sampai Lina sadar.

Pintu terbuka. Menampilkan sosok kedua anak lelaki. Itu Athala dan Axel. Mereka datang sembari membawa makanan untuk Al.

"Pa, ayo makan dulu," ucap Athala.

"Taruh di meja dulu," jawab Al tanpa menoleh.

Axel dan Athala sebenarnya kasihan terhadap ayah mereka. Pria itu bahkan bisa keluar hanya ketika akan ke gereja ataupun ada dokter yang tengah memeriksa Lina, sisanya ia habiskan dengan berada di sisi Lina.

"Apa kau akan terus seperti ini?" Tanya Axel.

"Ya, menunggu mama kalian sadar," jawab Al.

"Tapi kau hanya keluar sesekali dan bahkan lupa makan. Bukan mama saja yang terbaring di ranjang rumah sakit, tapi kau juga akan terbaring kalau sampai lupa makan. Kalau bukan karena anak-anakmu ini mungkin kau sudah kurus dan hanya tersisa tulang dan bukannya lemak," ucap Axel kesal.

Al hanya bisa diam tak menanggapi. Ia hanya bisa fokus pada Lina sekarang. Ya, hanya Lina. Bahkan pekerjaannya pun ia berikan pada Aland begitu saja tanpa persetujuan dengan Aland. Kini hal yang ia kerjakan hanya satu. Menemani Lina.

*****

Tears for Love and Happiness Where stories live. Discover now