19

1.4K 73 0
                                    

Axel baru saja selesai dengan urusannya di kampus. Ia pulang dengan beberapa formulir pendaftaran yang harus ia kumpul besok. Ah, ribet sekali. Apa adiknya juga merasakan hal seperti ini dulu saat sekolah di sini? Rasanya, iya. Rasanya kepalanya serasa pecah.

"Aku pulang!" Ucap Axel.

Axel melepas sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu. Hei, ini Indonesia. Kau akan di cap tidak sopan kalau membawa alas kaki seperti sepatu atau sandal dari luar ke dalam rumah. Akan kotor. Apalagi saat hujan.

Axel tidak menemukan dimana keberadaan ayahnya. Hanya, pintu yang tidak dikunci. Ayolah, ia lapar. Menaruh tasnya di sofa ia berjalan menuju dapur. Membuka lemari es dan hanya menemukan minuman kaleng serta air mineral. Ia pun membuka lemari makanan dan hanya menemukan snack di sana. Oke, karena ia lapar ia pun mengambil beberapa snack dan minuman kaleng. Lalu, beranjak menuju ruang tamu. Makan sambil menonton televisi.

Acaranya membosankan. Hanya, berita tentang artis dan sebagainya.

Ah, kemana ayahnya? Menghilang bak hantu. Ia mencoba menelepon ayahnya, namun tak diangkat.

"Kemana orang tua itu? Ah, kalau ia bukan ayahku sudah aku bunuh."

Oke, bilang ia kejam pada orang tuanya. Tapi, ya, masih ada segelintir rasa benci saat mengingat kelakuan ayahnya itu pada ibunya. Jadi, tak masalah, 'kan?"

Lama menonton akhirnya ia pun beranjak dari ruang tamu. Mematikan televisi. Membuang bungkus makanan dan kaleng minuman tadi ke tong sampah.

Axel beranjak menuju kamarnya. Menuju balkon kamarnya.

"Ah, mama apa kabar? Aku rindu mama," ucap Axel.

"Kau sudah pulang?" Tanya seorang pria di ambang pintu.

Axel menoleh ke sumber suara dan menemukan ayahnya berdiri di sana.

"Papa dari mana?" Tanya Axel.

"Habis belanja. Kau sudah makan?" Ucap Al.

"Emm, hanya snack dan minuman kaleng. Apa papa membawakan sesuatu?"

"Mau dimasakkan omelette?"

"Boleh."

Al segera keluar dari kamar Axel diikuti okeh Axel. Ia ingin membantu. Hei, laki-laki begini ia dan ayahnya bisa memasak asal kalian tahu saja. Jadi, mereka tak akan mengeluarkan uang untuk membeli makanan di luar.

"Pa, bagaimana kabar mama?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Axel itu sontak membuat Al menoleh.

Al juga tak tahu bagaimana keadaan istrinya itu. Yang pasti, ia ingin istrinya itu baik-baik saja dimanapun ia berada.

"Aku tak tahu. Berdoa saja supaya mamamu baik-baik saja. Kita harus menemukan pamanmu yang nakal itu serta adikmu di sini. Untuk urusan mamamu, biarkan kakekmu dan anak buahnya yang mencari. Mereka bisa dipercaya. Mereka bisa lebih diandalkan dibanding kita," ucap Al.

"Maksudmu, kau tak ingin ikut dari awal?"

"Tidak. Bukan itu maksudku. Kau tahu, aku tidak baik dalam menahan emosi. Mungkin, setelah ibumu ditemukan akan ada surat cerai. Yang lebih seram lagi kalau kau dan adikmu berpisah karena hak asuh."

"Kalian saling mencintai, 'kan? Jadi, tak mungkin kalian bercerai. Lagipula aku tak mau berpisah dari adikku, ibuku, maupun dirimu. Kita keluarga."

"Tapi, tabiatku buruk sekali. Bukti sudah ada banyak. Sudah dapat dipastikan kami akan bercerai. Dan, aku rasa hak asuhmu dan adikmu akan jatuh ke tangan ibumu. Aku tak pandai merawat anak."

"Tapi—"

"Diam, dan lanjutkan memasak. Aku akan mengambil barang di bawah." Al memutus ucapan Axel dan beranjak keluar dari apartemen menuju keluar gedung apartemen untuk mengambil beberapa barang mereka yang baru sampai. Ia, hanya ingin menghindari percakapan itu. Ia tahu akhirnya akan menjadi seperti apa.

***********************

Athala kini tengah berdebat dengan tugasnya. Ah, kenapa tugasnya jadi susah sekali untuk dikerjakan? Ia ingin membakar tugasnya itu.

"Kau kenapa? Mengusak rambut terus," ucap Aland.

"Tugas ini susah sekali! Aku kesal!" Ucap Athala sembari mengusak rambutnya.

"Memangnya susah sekali?" Tabya Aland.

"Sangat, menurutku. Sungguh berbeda dari New York. Di sana tidak terlalu membebankan. Tapi, ini? Jangankan lewat internet, aku harus meminjam setumpuk buku di perpustakaan untuk mencari materi lebih banyak."

"Memang begitu, 'kan? Semua sekolah bukan hanya membebankan muridnya untuk mencari jawaban di internet, melainkan juga di buku walaupun harus meminjam ataupun membeli buku penunjang yang cukup banyak. Karena, bisa saja yang di internet itu belum tentu 100% akurat."

"Ya, memang. Tapi, kalau terus begini sampai aku lulus kepalamu bisa pecah."

"Kalau kau tidak mau mendapat tugas kuliah sebanyak dan seberat itu lebih baik tak usah berkuliah." Oke, pamannya mulai marah sepertinya.

"Lebih baik kau lanjut mengerjakan," lanjut Aland.

"Iya."

Oke, hal yang perlu dilakukan adalah mengerjakan tugas setumpuk ini hingga selesai. Dengan begitu ia bisa tidur cepat malam ini.

*******************************

Hari berlalu begitu cepat. Hubungan Athala dan Axel tak lebih dari hari pertama mereka bertemu di kampus. Hari selanjutnya mereka memilih untuk tidak bertegur sapa. Jikapun mereka berpapasan di koridor kampus, mereka memilih untuk membuang muka dan terus berjalan menuju tujuan mereka.

Al? Dia sedang bekerja dari jauh. Perusahaannya di sana masih berjalan, dan ia membawa pekerjaannya ke Indonesia.

Aland? Tak ada yang berubah. Pekerjaannya masih sama. Berkutat dengan dokumen-dokumen penting. Oh, jangan lupakan sekretarisnya. Makin hari keduanya makin dekat saja. Oke, Aland menyukai sekretarisnya itu.

Lina? Dia dan Luke semakin dekat semenjak kejadian dimana Luke mengajaknya keliling pulau. Ia kini tak lagi ragu untuk bercerita apapun dengan Luke, dan Luke juga sepertinya orang yang baik. Ia selalu ada di saat Lina merasa sedih karena rindu dengan keluarganya.

Luke sendiri, ia tak tahu kenapa. Tapi, ia rasa ia menyukai Lina atau boleh dibilang ia jatuh cinta pada wanita cantik itu?

Adhan masih dalam misinya untuk mencari Aland dan Athala. Ia masih melihat sekitar depan rumahnya. Masih tak ada kemajuan.

Ya, hanya itu.

*****










































Oke, hanya ini untuk hari ini. Masih dalam masa hiatus. Semoga kalian suka. Mulai minggu depan aku akan coba untuk up work ini setiap malming. Klo bisa aja ya.

Tears for Love and Happiness Where stories live. Discover now