[19] Perjodohan?

1.3K 57 0
                                    

"Mama sama papa jahat. Gak pernah mau ngunjungi Ana" rengek ana yang sedang berbicara lewat via telepon.

"Maaf sayang. Papamu sangat sibuk. Apalagi kau berada diujung timur pulau Jawa. Jadinya jauh" ucap Tutik diseberang sana.

"Salah siapa ngirim Ana sampai jauh banget"

Tapi untung juga sih, bisa ketemu sama Gus Ruwandana. Batin ana

"Inshaallah minggu depan kalau tidak ada halangan. Kami akan pergi ke situ. Puas kan?"

"Heheh terimakasih Mama"

"Eh. Tumben gak alay?"

"Alhamdulillah Ana udah hijrah ma"

"Benarkah? Apa mama mimpi?"

"Astaghfirullah. Nggak ma. Nanti aja dah, ini ponselnya Gus Hafidz kasian pulsanya habis entar"

"Cie cie pakai ponselnya siapa itu?"

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ana tutup dulu"

"Iya sayang. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh"

Tut

Ana mematikan sambungan telepon. Dia memberikan kembali ponsel milik Gus Hafidz.
"Terimakasih Gus. Lain kali boleh ya pinjam lagi?"

Gus Hafidz tersenyum
"Iyah sama-sama. Silahkan boleh kok, pulsanya tersedia banyak kok"

Ana menundukkan kepalanya, dia menyadari bahwa Gus Hafidz mempunyai sikap lebih padanya. Dia tak pernah sebaik dan murah senyum begitu ketika berhadapan dengan orang yang bukan mahram.
"Saya pamit dulu Gus. Sekali lagi terimakasih" Ana langsung bergegas pergi dari kediaman Umi Humairah.

Setelah kepergian Ana. Gus Hafidz senyam-senyum sendiri.
"Astaghfirullah. Nak kamu kenapa?"

Suara itu membuat Gus Hafidz mengehentikan aktivitasnya. Dia malu kepergok senyam-senyum sendiri oleh Uminya sendiri.
"Gakpapa umi"

Umi Humairah menatap menyelidik
"Hayo kenapa? Umi tadi sempat dengar suara dari Ana. Apa jangan-jangan? Hoho anak Umi ternyata sudah besar ya" Goda Humairah pada putranya.

Wajah Gus Hafidz tiba-tiba memerah lantaran malu.
"Umi. bu-bukan begitu. Ah ini itu ini anu" Gus Hafidz menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia bingung saat harus memberikan alasan yang logis agar Uminya ini tak curiga.

"Gakpapa kok nak. Umi maklumin kau sudah besar. Sebentar lagi kau akan menikah"

"Umi. Aku masih mau koas jadi dokter"

"Benarkah? Bagaimana Jika seseorang yang kau sukai malah dikhitbah oleh orang lain?"

"Ya. Yaudah"

"Yaudah apanya?"

"Aku akan nikah dulu baru koas"

Umi Humairah mencubit pipi Gus Hafidz gemas.
"Umi akan dukung kamu kok. Intinya Jika kau sudah kesemsem sama seorang gadis. Cepat-cepat khitbah dia. Untuk menghindari dosa."

"Iyah Umi"

***

"Sodakallah huladzim" Gus Ruwandana mengakhiri kegiatan ngajinya. Dia mengambil botol minuman. Dia meneguk minuman tersebut sampai tandas. Rupanya dia sangat kehausan. Selain karena mengaji terlalu lama. Suhu udara juga sangat panas.

"Apakah kau sibuk nak?" Tanya Ghazali pada putra bungsunya.

Gus Ruwandana menoleh seraya menggeleng pelan
"Tidak. Abi"

Abi Ghazali duduk disamping putranya
"Abi. Ingin membicarakan sesuatu padamu"

"Iyah. Apa itu bi?"

"Abi, ingin menjodohkan abangmu dengan anak dari sahabat abi. Bagaimana tanggapanmu?"

"Bukankah Abang masih mau koas ya bi, apa gak sebaiknya ditunda terlebih dahulu"

"Tidak. Nak. Abi sudah terlanjur mengkhitbahnya untuk abangmu. Abi hanya takut dia menolak perjodohan ini"

Pasti Abang nolak. Batin Gus Ruwandana

"Terus. Abi ingin seperti gimana?"

"Hanya kamu yang bisa membujuk abangmu. Bujuklah dia. Jika dia tak mau, terpaksa. Kamu lah yang harus melakukan perjodohan ini"

Deg

"Inshaallah Abi. Saya akan berusaha membujuk Abang"

"Terimakasih ya. Nak"

Abi Ghazali bangkit dari duduknya, dia melangkah keluar dari kamar Gus Ruwandana.

"Abang tak akan menyetujui perjodohan ini. Lalu? Apakah aku yang akan berkorban?" Gumam Gus Ruwandana.

"Sebaiknya aku akan berusaha semaksimal mungkin. Setelah itu akan ku serahkan semuanya kepada Allah SWT"

TBC

Blessings of love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang