[43] Gila

1.3K 55 0
                                    

Kita meninggalkan bukan berarti untuk melupakan,
Kita berpisah bukan berarti untuk mengakhiri kisah,
Bukan seperti itu cara kita memaknai sebuah perpisahan
Bukan seperti itu cara kita mengakhiri sebuah hubungan

Terhitung 2 hari sejak Gus Hafidz meninggal dunia. Keadaan Ana semakin memburuk, dia tak mau makan sedikit pun.

Mataharinya kini telah meninggalkan dirinya. Apakah ini sebuah karma? Karena dia telah mengkhianati cinta suci dari Gus Hafidz?.

Clek
Fatimah memasuki kamar Ana dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman. Ini sudah beberapa kali dia membujuk Ana untuk makan dan melupakan sedikit kesedihannya.

Fatimah meletakkan nampan di atas nakas. Dia meraba-raba tembok untuk menghidupkan lampu kamar yang sengaja Ana matikan.

Fatimah menutup mulutnya terkejut saat melihat penampilan Ana yang terbilang sangat kacau balau.
Dia memakai baju terakhir saat kecelakaan suaminya, tanpa berhijab dan cadar, rambut yang sangat acak-acakan, kantung mata yang membesar dan hitam, serta jejak-jejak air mata yang sudah mulai mengering.

Ana duduk dilantai dengan bersandar di pinggir kasur queen size nya. Tatapan matanya kosong.
"Ana. Kumohon makanlah meskipun cuman sedikit. Gus Hafidz disana pasti tak tenang saat melihat mu seperti ini". Fatimah memang merasa kehilangan saat mendengar berita bahwa Gus Hafidz meninggal dunia karena kecelakaan, namun dia sangat sedih saat melihat sahabatnya menderita dan bahkan hampir gila karena Gus Hafidz meninggal.

Ana menoleh ke arah Fatimah, matanya berbinar saat mendengar nama dari Gus Hafidz. Dia bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Fatimah.
"Benarkah? Berarti kalau aku makan dia akan kembali kan?" Ana tertawa terbahak-bahak seperti sedang ada yang memberi lelucon.

Fatimah menatap Ana dengan rasa iba. Kemana sahabatnya yang sangat kuat itu? Bukankah dia mencintai Gus Ruwandana, tapi mengapa saat Gus Hafidz meninggal dia yang paling tak ikhlas dan hampir gila dibuatnya.
"Ana. Kami semua disini terpukul karena kepergian Gus Hafidz. Tapi kami mohon, makan lah meskipun cuman beberapa suap" Dengan sekuat tenaga dia menahan tangisnya. Ia tak mau melihat dirinya lemah dihadapan orang yang terpuruk. Dia harus menjadi contoh pribadi yang kuat, agar dirinya bisa menguatkan sahabat terbaiknya ini.

Ana mengehentikan tawanya dan kembali menangis histeris dan terjatuh di lantai. Mungkin karena dia tak makan selama dua hari, itu membuat tubuhnya lemas.

Fatimah dengan segera keluar untuk meminta bantuan. Dia melihat Umi Humairah sedang membereskan ruang tamu yang kotor karena banyak pelayat yang berdatangan.
"Umi. Umi!. Gawat, Ana jatuh pingsan di kamarnya"

"Ya Allah. Bagaimana keadaannya?"

"Cepat umi kita harus bantu dia"

Setelah memindahkan Ana ke atas kasurnya yang dibantu oleh beberapa para santriwati, Umi Humairah semakin khawatir dengan keadaan fisik dan mental Ana.

"Apa sebaiknya kita panggil orang tua Ana?" Ide Fatimah tiba-tiba saja muncul.

"Dia semakin parah saat mendengar nama dari Gus Hafidz mi. Saran saya lebih baik Ana untuk beberapa bulan kedepan kembali ke Jakarta, hingga ia benar-benar pulih dari keterpurukan" lanjut Fatimah.

"Benar juga. Apakah dia melakukan sesuatu hal yang membahayakan tadi?"

Fatimah menggeleng
"Tidak Umi. Hanya saja dia tadi tertawa terbahak-bahak lalu menangis histeris saat mendengar nama Gus Hafidz"

"Sebegitu cintanya dia kepada anakku" Umi Humairah merasa kasian dengan nasib Ana, padahal mereka berdua baru saja menikah, namun harus terpisah.

TBC

Blessings of love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang