11

1.8K 447 106
                                    

Sebelumnya, aku mau bilang. Bahwa ini chapter yang panjang, jadi baca yang pelan-pelan. Dinikmati, jangan diskip. Nanti hilang feeling♡

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

"ᴀᴋᴜ ʟᴀʀᴜᴛ ᴅᴀʟᴀᴍ ɪᴍᴀᴊɪ, ᴘᴀᴅᴀ ᴀʟᴜɴᴀɴ ᴍᴜsɪᴋ ɪɴᴅɪᴇ ʏᴀɴɢ ᴅɪᴘᴜᴛᴀʀ ᴛɪᴀᴘ sᴇɴᴊᴀ. ᴋᴇɴᴀᴘᴀ? ᴋᴀʀᴇɴᴀ ɪᴛᴜ ᴍᴀᴍᴘᴜ ʙᴜᴀᴛᴋᴜ ᴍᴇʀᴀsᴀ ᴅᴇᴋᴀᴛ ᴅᴇɴɢᴀɴᴍᴜ."

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰


"Gi, jangan langsung pulang ya."

Gio mengernyit, ia hanya bisa melihat Jehan dari belakang. Karena saat ini, kakak adik itu sedang berboncengan dengan motor.

"Mau ke mana?" tanya Gio.

"Mampir di burjo. Makan, sekalian abang mau ngomong."

Karena sepertinya hal yang akan dibahas nanti serius, jadi Gio hanya mengiakan tanpa banyak tanya. Bagi Gio, Jehan memang abang yang asyik, kocak, kompak banget kalo berhubungan dengan hal yang seru. Tapi, terkadang sifat Jehan itu suka buat Gio segan.

Kalau tidak ada ayah di rumah, biasanya yang tanggung jawab penuh adalah Jehan. Termasuk mendisiplinkan Gio, dan terkadang Jehan tidak segan-segan memarahi Gio.

Akhirnya mereka menepikan motor di salah satu warung di pinggir jalan. Lumayan ramai, banyak pengguna motor yang mampir di warung burjo itu. Sampai-sampai Jehan agak sulit memarkirkan motor.

Gio masuk lebih dulu ke warung, dan mencari tempat yang enak untuk duduk. Dari arah belakang, Jehan menyusul kemudian menepuk pundak Gio.

"Lo mau makan apa?" tanya Jehan, dengan tangannya masih menempel di pundak Gio.

Gio melihat papan menu yang menempel di dinding. "Apa ya? Oh, itu aja deh, mi rebus pedes satu, minumnya es kopi susu," ucap Gio.

"Ok." Jehan berjalan menghampiri penjual yang ada di dalam. "Pak, mi rebus pedasnya dua. Es kopi susu satu, sama teh manis anget satu."

Kemudian Gio dan Jehan duduk berdampingan, di ujung ruang. Cukup sejuk, karena dekat jendela besar.

Gio masih menunggu hal yang dibicarakan Jehan. Penasaran namun, Gio tidak berani menyinggung hal itu mendahului Jehan.

"Minggu depan lomba fotografi di Bandung?" tanya Jehan, sebagai pembuka pembicaraannya.

Gio mengambil tissu kemudian mengelap meja yang dirasa lembab itu. "Iya, minggu depan."

"Konsep udah disiapin?" tanya Jehan.

"Udah."

Jehan menepuk pundak Gio, lalu terkekeh. "Santai kali coy. Tegang amat, kayak ujian." Lalu Gio tersenyum meringis.

Jehan mengambil kerupuk yang ada di meja, kemudian memakannya. "Udah sejak kapan?" tanya Jehan.

"Kapan apanya?" Gio berbalik tanya. Terkadang Jehan itu to the point, tapi jatuhnya bikin orang bingung kalau tidak fokus.

"Senja yang temaram, ditemani alunan musik," ucap Jehan tersenyum jenaka kemudian. "Perlu gue jelasin langsung ke inti, hm?"

Gio yang sedang mengelap meja dengan tissu itu, terhenti seketika. Kemudian menoleh menatap Jehan ngeri. "Apa sih bang, gak jelas lo." Gio geleng-geleng tak habis pikir, sambil meringis canggung.

Jehan memakan kerupuknya lagi. "Munafik lo Gio Reynand Abimanyu bin Barata Sadega." Jehan melihat Gio yang sedang salah tingkah. Kemudian menyenggol lengan adiknya itu. "Lo itu, gak bisa bohong dari gue."

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang