31

880 264 45
                                    

"Aku menghindar, bukan bosan. Hanya ingin tahu, kamu masih butuh hadirku atau tidak."

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Gio menutup sebagian wajahnya dengan lengan, dan memejamkan matanya. Saat ini tidur adalah solusi yang terbaik, dari semua masalah.

"Lo itu, kalo capek istirahat."

Sudah ke berapa kali Jehan mengoceh hal itu, sampai-sampai Gio penat sendiri mendengarkannya. Jehan memasukkan tas berisi baju Gio ke dalam nakas.

"Lo tahu kan sekarang akibatnya? Dehidrasi, anemia, darah rendah, kecapekan, tipes. Itu penyakit apa rombongan haji, datengnya barengan bejibun." Jehan menutup nakas, kemudian berjalan mengambil sebuah kursi. Lalu duduk di samping Gio yang sedang berbaring.

Gio berdeham. "Dah ah bang, ngoceh mulu kayak love bird."

Jehan tak habis pikir dengan Gio, usai membuat khawatir orang satu rumah, tapi justru cowok itu malah santai saja begitu tahu penyakitnya.

"Lo stress juga ya? Mikir hati?" Jehan menyadarkan punggungnya di kursi. "Soal pacar kan? Lo gak mau cerita ke gue?"

Gio membuang wajahnya, kemudian membalik posisi tidurnya pelan-pelan dan memunggungi Jehan. "Kagak."

"Kalo gak suka ya marah, kalo sedih ya nangis, kalo capek ya istirahat. Kenapa sih, apapun reaksi lo terhadap sesuatu pasti 'ya udah gak apa-apa'. Udah kayak telenovela ae lo Marimar!" Jehan melengos, jengah. Kemudian geleng-geleng tak habis pikir.

"Bang."

"Apa?"

"Jangan sampe Rena tahu, kalau pun dia udah tahu gue di sini. Jangan kasih izin masuk."

Jehan mengernyit. "Lah kenapa heh?"

"Ogah ketemu dulu."

Jehan melirik Gio, miris. "Ya udah. Terserah. Tapi gue bilangnya gimana? Nanti disangka gue yang larang. Nanti gue salah lagi."

"Bilang aja gue tidur, besok aja datengnya. Terus kalo besoknya dateng, gituin aja lagi."

Jehan terkekeh, lalu bangkut dari kursi. "Lo marah sama Rena?"

"Engga."

"Ya terus? Kenapa kucing-kucingan gitu?"

Gio menghela napas kasar. "Bang, lo banyak tanya kayak pembantu baru deh. Sana lo keluar dah, beliin gue minum atau apa kek. Kesel."

Jehan berkacak pinggang, dan menatap punggung Gio ngeri. "Galak amat lo! Durhaka lo sama abang sendiri."

"Itu HP gue, bawa aja. Nanti bisa-bisa gue kegoda buat buka."

Jehan melirik HP milik Gio yang tergeletak di atas nakas. "Ya udah, gue bawa ya."

"Yang lain dibales gak apa-apa. Kecuali Rena dan Bima."

"IYE-IYE BAWEL."

"Ya udah gue mau tidur. Pergi sana." Gio menarik selimut kemudian memejamkan matanya.

Sebenarnya Gio tidak marah, hanya saja. Gio cuma ingin tahu, bagaimana Rena ketika tidak ada dirinya. Cinta memang tidak untuk diuji, tapi jika terus begini keadaannya. Tidak ada salahnya, menguji, benar ia masih membutuhkan atau tidak.

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Rena meletakkan kepalanya di atas meja, wajahnya lesu dan tak bersemangat sejak pagi. Bahkan saat guru meminta untuk mengerjakan soal saja, Rena malah mencoret-coret buku dan tidak mengerjakan soal.

Saat diajak Bima ke kantin saja, Rena memilih menitip untuk dimakan di kelas. Gio sejak kemarin sulit untuk dihubungi, di telepon tidak diangakat. Di-chat tidak membalas. Buat Rena makin yakin, kalau Gio marah, dan kecewa padanya.

"Ren, nih makananlo." Bima meletakkan sebungkus roti, dan sebotol air mineral. Kemudian Bima duduk di samping Rena.

"Thanks, Bim." Rena mengangkat kepalanya, kemudian membuka bungkus rotinya.

Bima menatap Rena kasihan. "Ren, Gio masih gak bisa dihubungi?" tanya Bima, yang sejurus kemudian dijawab anggukan oleh Rena.

"Iya, Bim."

"Lo gak mau coba samperin ke kelasnya?"

"Tadi upacara aja gak kelihatan."

"Terus gimana? Heran gue, kalo marah mah bilang aja. Jangan lo digantungin begini." Bima mengambil botol mineral Rena, kemudian membukanya.

Rena mengendikkan kedua bahunya. "Gak tau deh. Nanti gue coba tanya bang Jehan deh," ucap Rena lalu melahap rotinya.

"KAK REN!!"

Rena hampir tersedak roti, saat mendengar suara Rama yang keras memanggilnya. Rama berlarian masuk ke dalam kelas Rena, dan menghampiri meja Rena.

"Kak, bang Gio!"

Rena mengunyah rotinya, sembari menatap Rama bingung. "Kenapa, Gio?"

"Sakit masuk RS, lo gak tau ya?" tanya Rama dengan napasnya yang terengah-engah.

Rena menatap Rama dan Bima bergantian. "Hah?! Sumpah?!" Rena menelan bulat-bulat rotinya. "Hoax bukan?!"

"Gue tadi ke kelasnya, mau minta rekapan. Terus temennya bilang, kalo Gio sakit, masuk RS. Ih gimana seh lo kak?!"

"Di RS mana, Ram?"

"RS Bio Medical. Gila lo, cewenya sendiri gak tahu! Mau jenguk kapan lo?"

Rena menggaruk kepalanya bingung, kemudian menoleh menatap Bima. "Bim, pergi sama gue ya?"

Rama melihat Bima, begitu juga Bima yang membalas tatapan Rama. "Sama gue?" tanya Bima.

"Iya sama lo ya?"

"Ya udah, ok." Bima angguk-angguk, lalu mengalihkan pandangannya dari Rama.

Tiba-tiba saja perkataan Rama melintas di kepalanya. Mengingatnya buat Bima jadi malas, sekaligus kesal ketika melihat Rama. Namun hal yang sama, juga dirasakan Rama.

"Kak, ya udah gue balik dulu ke kelas. Lo langsung pulang kalo udah jenguk, gak usah mampir, gak usah main." Rama melirik Bima. "Oh ya, gue titip kakak gue, ya bang," ucap Rama, menatap lurus Bima.

"Yoi," jawab Bima singkat.

Kalo bukan adek temen gue, udah gue maki.

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Yak mari di vote.

BTW

Mau menjelang akhir chapt ya wkwkwkwk🤭

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang