24

1.2K 285 41
                                    

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Saat ini Rena, dan Vian sedang bersantai di depan TV. Usai beberapa hari ini try out, Vian memilih bersantai di rumah untuk istirahat dan bermalas-malasan.

Rama sendiri sedang sibuk mengerjakan tugasnya. Karena tugas sekolahnya tidak begitu sulit, jadi Rama mengerjakannya di ruang TV sembari menonton drama yang diputar oleh Rena.

"Hehe ... hehe" Rena terkekeh di depan layar hp. Terkadang cewek itu senyum-senyum sendiri, hingga buat Vian memutar kedua bola matanya jengah.

Vian melirik hp Rena yang saat ini dimainkan sembari di-charge itu. Cowok itu mendecak. Kemudian Vian mengambil hp-nya yang sama-sama sedang di-charge di meja. Vian membuka hp-nya, namun tidak ada apa-apa. Cowok itu menghela napasnya kasar, sembari menatap layar hp-nya geram.

"Bang, bang," panggil Rama.

"Oy," saut Vian, namun tidak menatap Rama. Dan masih sibuk menggeser-geser layar hp-nya.

Rama meletakkan pulpen-nya dan menopang dagunya di atas meja. "Kak Rena bela-belain main hp sambil di-charge buat chatting-an sama bang Gio. Lah bang Vian? Main hp sambil di-charge ngapain? Nunggu kesetrum?"

Vian meletakkan hp-nya di perut. Lalu cowok itu menatap Rama dengan tanduk yang sudah di kepalanya. "Lo dulu lahir di bisikin pake adzan, apa pake knalpot motor sih?"

Rena mendengar cek-cok abangnya dan adiknya itu langsung meletakkan hp di meja. "Bukannya Rama dulu abis lahir, bang Vian glindingin dari kasur?"

"Tahu dari mana lo?" tanya Vian kemudian menoleh menatap Rena bingung.

"Tahu dari bang Abas."

Rama menggeleng tak habis pikir, ia menatap Vian dingin. "Tuh tuh, insting gue itu selalu benar. Kenapa gue selalu ingin memaki bang Vian. Penyebab aslinya ternyata kenangan masa lalu waktu bayi."

Vian mendecak, ia mendudukkan dirinya. "Bodo amat, gak peduli gue."

"Bang Vian mau ikut SBMPTN? Jurusan kuliahnya udah milih belum?" tanya Rama.

"Udah." Vian menggaruk lehernya lalu menguap.

"Jurusan apa?" tanya Rena ikut-ikut masuk ke dalam percakapan. Cewek itu meletakkan hp nya di pangkuan.

Vian melihat raut wajah dari kedua adiknya itu datar. "Kedokteran," jawab Vian.

"HAH?!" saut Rena dan Rama bersamaan. Dua orang itu saling melempar tatapan tak percaya. Mengira mungkin Vian salah bicara.

Vian sudah bisa menebak respons Rena dan Rama, saat mengetahui jurusan yang akan ia pilih. Jadi, Vian sudah tidak terkejut dengan reaksi spontan dari Rena dan Rama.

Rama menelan salivanya, lalu ia menggeser duduknya mendekat pada Vian. "Abang, gak ngigo?" tanya Rama dengan wajah yang serius. Lalu Rama memegang jidat Vian. "Gak panas juga kok."

Vian memutar bola matanya jengah. "Kagak."

Rena menarik napasnya dalam-dalam. Lalu ia membuang napasnya panjang, cewek itu memegang pundak Vian lalu menepuk-nepuk pundak Vian pelan. "Bang, itu bagaikan menumbuhkan pohon mangga pake bibit pohon jambu. Jangan terlalu berharap bang, sadar diri astagfirullah." Rena mengusap dadanya sendiri, lalu geleng-geleng kepala, dramatis.

Vian melirik Rama dan Rena jengah. "Bodo amat sama lo pada, ah!" Vian bangkit dari kursi kemudian berjalan menaikki anak tangga. Langkah kaki Vian pun bisa terdengar dari bawah, menandakan cowok itu sedang marah.

"Bang hp-nya ketinggalan!"

"GAK PEDULI GUE!"

"Idih ngambek." Rama melirik Rena.

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang