21

1.3K 336 56
                                    

"ʙᴇʀʟᴀᴘᴀɴɢ ᴅᴀᴅᴀ ɪᴛᴜ. ᴍᴜᴅᴀʜ ᴅɪ ᴜᴄᴀᴘкᴀɴ, sᴜʟɪᴛ ᴅɪ ᴛᴇʀᴀᴘᴋᴀɴ."

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Bima melamun menatap jendela kereta. Jalan-jalan yang dilintasi bagai sesuatu yang tak berarti. Pikirannya hanya terpaku pada satu permasalahan.

Gue pikir gue baik-baik aja. Ternyata gue gak rela juga akhirnya.

Bima menempelkan keningnya pada kaca jendela, kemudian membuang napas berat. Rasa gundah di hatinya jadi pengganggu segalanya. Bahkan sejak keluar dari rumah sampai naik ke kereta saja, Bima tak mengajak bicara Rena duluan.

Rena sendiri sibuk dengan Hp-nya, sampai senyum-senyum sendiri. Semakin buat Bima kaku hati rasanya. Berlapang dada itu, ternyata susah. Mudah di ucapan, sulit di terapkan.

Kedua mata Bima terpejam, ia mencoba mengontrol pikiran dan hatinya saat ini. Namun yang ada, malah terlintas wajah semu Rena dan Gio. Lalu di kepala rasanya muncul suara Rama, 'Tidak mau dikasihani, tapi suka mengasihani diri sendiri'.

Jadi, sekarang gue lagi mengasihani diri sendiri? Kampret.

"Bim!"

Bima terlonjak, ia memutar tubuhnya menghadap Rena. "Apa?"

Rena menatap Bima aneh. "Heh, itu telinga apa pegangan panci? Lo tidur?"

"Kagak."

"Kenapa sih lo? Laper? Pesen makan gih. Ntar biar abang gue yang bayar."

"Gue gak laper."

"Lah terus? Kenapa wajahlo ditekuk kayak gulungan koran?" Rena melepas headset-nya dan memilih fokus bicara dengan Bima.

Bocah amat sih gue, batin Bima. Cowok itu memutar bola matanya jengah. "Ren, gak terima ah gue. Lo jadian sama Gio gak cerita-cerita ke gue! Lo anggep gue temen kagak?!" amuk Bima.

"HAH?! LO JADIAN SAMA GIO?!" seru Vian sejurus kemudian setelah menguping percakapan Bima dan Rena. Kepala Vian langsung muncul dari sisi atas balik kursi.

Rena diam, begitu juga Bima. Rena melirik Bima sengit. "Comel lo Bim!"

"LAH! Kok gue?!"

"Lo nih pake acara teriak-teriak, segala macem. Bibir lo ni kudu di isolasi ya?!" Rena menunjuk bibir Bima, yang membuat cowok itu langsung melindungi bibirnya pakai tangan.

Vian melihat Bima dan Rena saling adu mulut. "Woy ini bocah! Diajak ngomong sama orang tua nih!" omel Vian.

Tidak lama kemudian kepala Arga muncul, dan bersebelahan dengan Vian. "Kalo Rena pacaran sama Gio, emang kenapa?" tanya Arga.

Lantas tatapan Vian, Rena dan Bima tertuju pada Arga. Arga yang bicara dengan mata ngantuknya.

Vian menatap Arga bingung. "Lah bukannya tadi lo tidur?" tanya Vian.

Arga menguap, ia menatap Bima dan Vian, lalu wajahnya tiba-tiba jadi dingin. "Gimana gue gak bangun? Suara lo itu, jadi bahan perhatian sekarang."

Dan benar, ketika Rena menoleh ke kursi seberang. Ada Juna dan Abas yang sedang menatapnya dingin. Rena meringis. "Hehe, kenapa bang?" tanya Rena pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Juna melipat tangannya di depan dada. "Rena, we need to talk about this at home." Juna melihat Rena, dan Vian.

Rena merendahkan kepalanya, kemudian mengangguk pelan. "Iya bang."

Abas yang duduk di samping Juna, cuma angguk-angguk. "Rena punya pacar? Gio ya?" tanya Abas, yang kemudian dijawab anggukan oleh Rena, Vian, Arga dan Bima. Lalu sedetik kemudian Abas tersenyum lebar, dan menatap Rena jenaka. "Cieeee cieeee!"

Sontak Juna langsung menoleh, menatap Abas tajam. "Bang," tegur Juna.

Abas mendecak, ia menyenggol bahu Juna. "Yang anak tertua di sini siapa? Hah?"

"Bang Abas," jawab Juna.

Abas tersenyum penuh wibawa. "Just give her trust, Juna. Kepercayaan dan tanggung jawab." Abas beralih menatap Rena, lalu tersenyum simpul.

Juna menghela napas panjang, ia mengalah dan menurunkan emosinya. Kemudian Juna menatap Rena lagi. "No kiss, no hug, no skin ship," ucap Juna yang mengucapkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan Rena, seolah sedang menghitung sesuatu dengan jari.

Sedetik kemudian Abas menyetil telinga Juna."Baru aja gue bilangin ke lo ya?"

Juna memegang telinganya yang sakit setelah disentil. Umurnya sudah dewasa, namun telinganya masih saja disentil Abas. "Ya Allah iya bang iya!"

"Abang percaya sama kamu, tapi tolong jaga kepercayaan itu. Oke? Bisa ya Rena?"

Rena menatap Abas takut-takut. "Iya bang, makasih."

Vian memutat bola matanya jengah. Ia menjitak kepala Rena. "Awas lo, jangan grepe-grepe! Gak boleh! Gue tebas kepala Gio, kalo sampai dia grepe-grepe lo!"

Rena menatap Vian emosi, tanduk cewek itu sudah muncul keluar. "Bang Vian!"

Arga mendecak menatap kelakuan temannya, yang sok-sokan menasihati padahal ia juga tidak sesuci yang diperlihatkan. "Gio anak baik-baik kok, yang gak baik Vian," ucap Arga.

Vian melirik Arga ngeri. "Heh, sembarangan lo! Gue itu cowok kalem."

Arga tak kalah sengitnya menatap Vian. "Oh iya gue lupa. Lo itu fakboy yang akhirnya berevolusi jadi sadboy."

"Bodo amat!" Vian kembali ke posisi duduknya yang benar. Malas kalau Arga sudah menyangkut soal kesedihan kisah cintanya yang rumit dan sangat tidak rasionalis itu.

Bima mendekatkan tubuhnya ke Rena. "Woy, pizza yang gede satu, terus dua cola buat persediaan di asrama," bisik Bima, lalu tersenyum puas.

Bangkrut, bangkrut dah lo. Ngahahaha.

Kedua bola mata Rena mendelik, ia memijat keningnya. "Satu pizza aja gak ada setengahnya duit jajan gue, Bim."

Bima tertawa kecil. "Ya gue gak mau tahu. Kan pacarlo ada darah ningratnya noh. Duitnya banyak, plorotin aja," ucap Bima tanpa rasa bersalah. Lalu sedetik kemudian dihadiahi jitakkan dari Rena.

"Makan noh pizza!"

"Dasar pelit lo!"

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Eaaak dor!
Aku suka update pagi-pagi ya🌞🤣

Mengawali pagi harimu dengan ceritaku yuhuuu🐈

Mengawali pagi harimu dengan ceritaku yuhuuu🐈

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sisa liburan kemarin. Rena yang fotoin.😗

Btw mulut Vian lebar amat, aku takut kalo kemasukan kelapa muda._.

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang