30

972 277 58
                                    

"Ketika rasa simpati jadi dengki. Untuk mengasihani pun, berat di hati."

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Gio mengetuk pintu rumahnya sebanyak tiga kali. "Assalamualaikum, maa," panggil Gio. Cowok itu menyandarkan bahunya pada dinding, sembari menunggu ia dibukakan pintu. Rasanya tubuh Gio lemas, lelah seharian mengurus acara.

"Mamaa ....," panggil Gio lagi. Kali ini rasa lelahnya menambah berlipat, ketika pintu rumahnya tak kunjung terbuka.

Gio memijat pangkal telinganya, rasanya pening dan berat sekali. Tubuhnya juga terasa ringan lelah bukan main. "Ma ....." Lalu tidak lama kemudian terdengar suara kunci dibuka, dan diikuti pintu yang terbuka.

Namun, yang muncul bukan mama, melainkan Jehan. "Maaf, gue gak dengar tadi," ucap Jehan yang berdiri di depan pintu.

Gio mengangguk paham, ia sudah tidak bisa menahan peningnya dan rasanya ingin cepat tidur. "Iya gak apa-apa bang." Gio berjalan masuk melewati Jehan. Namun, baru beberapa melangkah masuk Jehan menahan lengan Gio.

"Bentar Gi." Jehan berjalan mendekat, lalu melihat wajah Gio. "Lo sakit." Jehan memegang leher serta kening Gio. "Pucat banget lo."

"Nggak, gue cuma kecapekan. Dibuat tidur juga sembuh." Gio berjalan lagi, namun lagi-lagi dicegah Jehan. "Bang, gue pengen tidur. Minggir," sambung Gio.

Jehan mengerutkan keningnya. Cowok itu benar-benar tak habis pikir. "Badanlo panas banget!"

Gio menolehkan kepalanya sedikit. "Terus, kalo panas kenapa?"

"YA LO SAKIT BEGO! UDAH TAHU PAKE NANYA!"

Gio mendecak, ia malas ribut. Gio berjalan lagi, dan ingin menuju kamar. Jehan yang gemas itupun, langsung bergegas menarik lengan adiknya secara paksa. "Ke rumah sakit sekarang, atau gue gak ngajak ngomong lo selama 3 bulan."

Gio tersenyum culas, lalu menggeleng tak habis pikir. "Lo gila?" Gio menolehkan kepalanya ke belakang, dan menatap Jehan yang saat ini sedang memelototinya.

"Lo yang gila! Ayo ke rumah sakit sekarang. Soal mama nanti gue yang bilang. Gue ambil kunci mobil, lo tunggu di garasi sekarang!" Kemudian Jehan berlari ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil.

Gio hanya menghela napas kasar ketika melihat punggung Jehan. Kakaknya itu, benar-benar tahu titik kelemahannya. Gio paling tidak bisa didiamkan oleh Jehan, atau orang yang dekat dengannya.

Jehan kembali lagi sembari membawa kunci beserta sebuah hoodie. "Lo pake ini." Jehan menyerahkan sebuah hoodie untuk dipakai Gio. "Buruan masuk ke mobil, ntar lo kedinginan." Jehan berlari membuka gerbang.

Melihat Jehan yang berlarian seperti itu, membuat Gio tidak enak hati. Lalu kemudian Gio masuk ke dalam mobil, dan menyandarkan kepalanya. Rasanya sudah benar-benar tidak kuat.

Jehan masuk ke dalam mobil. "Pake sabuknya, Gi. Jangan lupa." Lalu Jehan menyalakan mesin mobilnya. Cowok itu melirik Gio yang tidak segera memasang sabuk pengaman. "Astaga Gio." Jehan mendekatkan tubuhnya ke Gio lalu memasangkan sabuk pengaman untuk adiknya.

Kemudian Jehan mulai mengeluarkan mobilnya dari garasi dan menutup gerbang rumah begitu mobilnya sudah keluar. Jehan berlarian ke sana ke mari, demi ingin segera bawa Gio ke rumah sakit.

Sedangkan yang dirasakan Gio hanya bisa memerhatikan Jehan samar-samar. Matanya sudah berat dan rasanya ia ingin segera tidur. Sebenarnya Gio sudah merasakan tubuhnya tidak enak semenjak kemarin, saat menginap di sekolah. Karena Gio sibuk mendekor serta mengurus keperluan pentas. Belum lagi Gio juga begadang karena asik bercengkrama dengan anggota OSIS yang lain, hingga lupa waktu dan lupa tidur.

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang