18

1.4K 384 70
                                    

"sᴇsᴜᴀᴛᴜ ʏᴀɴɢ ᴅɪ ʟᴜᴀʀ ʀᴇɴᴄᴀɴᴀ ɪᴛᴜ, ᴛɪᴅᴀᴋ sᴇʟᴀᴍᴀɴʏᴀ ʙᴜʀᴜᴋ."

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Matahari sudah berganti tugas dengan bulan. Walau terangnya tidak seterang siang hari, lampu-lampu trotoar jadi hiasan malam ini. Di tengah jalanan yang ramai itu, ada sekelompok musisi jalanan yang mengadakan konser kecil di bahu jalan.

Bima berjalan berdampingan dengan Rena. Entah apa yang mereka lihat, sampai jadi perbincangan yang asyik. Vian, Arga dan Rama berjalan sembari menikmati arum manis.

"Udah lama gak ke sini. Sekarang tambah bagus," celetuk Gio. Sudah lama setelah pindahnya ke Jakarta, Gio dan Jehan bila ke Jogja hanya sebatas di rumah, lalu angkringan dekat rumah.

Jehan mengangguk menyetujui. "Tapi tambah ramai juga sih." Jehan melihat ke sekelilingnya. Kemudian ia melihat Rena dan Bima, yang jalan di depannya. "Oy, Gi."

"Apa bang?"

Jehan tersenyum miring. "Mau lihat sesuatu gak?" tanya Jehan. Nada bicaranya buat seseorang jadi penasaran.

Gio menaikkan satu alisnya. Ia mendekatkan wajah ke Jehan. "Apa bang?" tanya Gio pelan.

"Gue panggil nama lo, kalo Rena noleh sampai dua kali. Samperin." Jehan tersenyum jenaka. Ia menepuk pundak Gio. "Gimana? Mau coba gak?"

Gio angguk-angguk. "Coba aja gih. Orang dia lagi asik sama Bima, palingan juga gak dengar." Gio memasukkan tangannya ke saku.

"Justru dari itu. Ketika suka sama orang, perhatian dan kesadaran langsung terpanggil kalau menyangkut orang yan disuka. Gue coba ya."

"Boleh deh boleh."

Gio menunggu apa yang dilakukan abangnya itu. "Lo jalan duluan sana." Jehan mendorong punggung Gio.

Raut wajah Gio sudah tampak kebingungan, tapi akhirnya ia hanya menuruti apa saja yang disuruh Jehan.

Buset dah ribet amat.

Gio menghela napas, menunggu apa yang akan selanjutnya dilakukan Jehan. Jehan berdiri di belakang Gio tak jauh dari nya. "Woy Gio!"

Astaga keras amat.

Gio tidak menoleh, dan memilih melihat lurus ke depan, ke Rena. Cowok itu menunggu reaksi Rena, apakah benar atau tidak.

Namun yang menoleh justru Bima. "Ya elah malah si Bima," bisik Jehan pelan.

Gio menghela napasnya panjang. "Bodo amat ah. Cara lo bikin orang merasa ter-php tahu gak, bang!" omel Gio. Sedetik kemudian Rena menoleh sekali ke arahnya.

"Tuh, noleh sekali kan dia," ucap Jehan bangga, merasa triknya hampir sempurna. "Kalo dia noleh lagi, berarti dia—anjir, anjir noleh lagi!" Jehan melihat Rena menoleh walau hanya sekedar melirik Gio.

Gio sudah deg-degan, besar kepala, melayang-layang. "Bang noleh bang, terus gue gimana nih??" tanya Gio kebingungan, tapi salah tingkah juga.

Jehan geleng-geleng tak habis pikir. "Gila ya, lo lebay banget njir. Sebahagia itu lo? Ya udah samperin, ajak jalan berdua." Sedetik kemudian Gio angguk-anggum cepat, dan hendak berjalan mendahului Jehan namun ditahan. "Gi bentar, mainlo gak rapi banget."

Gio murung. Ia menghela napas panjang. Sebenarnya, Gio sendiri bingung. Rasanya setelah kemarin, Gio habis akal dan kepercayaan diri untuk maju lebih lagi. "Gue takut terlalu berusaha malah buat jadi gue terlalu sakit hati."

Jehan terkekeh geli, tumben sekali adiknya sedih seperti itu. "Usaha dulu, hasilnya gimana belakangan." Jehan dan Gio berjalan pelan membuntuti Rena dan Bima. "Gue ajak Bima buat cari WC, lo nanti samperin Rena. Tapi kudu cepet." Gio angguk-angguk menurut.

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang