37

1K 256 20
                                    

"Ucapanmu itu, seperti luka. Lukanya sudah sembuh, tapi meninggalkan bekas."

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Usai badai, langit jadi terang kembali. Usai masalah, hidup Rena tetap berlanjut lagi. Namun, lukanya belum benar-benar pulih dan kemungkinan akan meninggalkan bekas.

Bima menghilang entah ke mana, tiada yang tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu. Bahkan kawan satu asramanya pun bungkam saja, ketika Rena mencari-cari sosok yang pernah jadi teman seperjuangannya itu.

Kelas terasa seperti biasa tanpa Bima, hanya Rena yang merasa kosong dan hampa. Biasanya cewek itu bercanda, berbicara sampai makan siang bersama Bima. Namun kali ini di kelas, Rena hanya bicara seperlunya saja. Jika istirahat tiba, ia selalu menghampiri kelas Rama atau Gio untuk makan bersama. Memulai pertemanan, mencari teman dekat bagi Rena itu tidak mudah.

Rena mengaduk mi ayam yang ia beli untuk makan siang kali ini. Uap panas menguap sedikit terasa menyentuh kulit wajahnya. Kali ini makan siangnya bersama Gio, dan Rama. Dua laki-laki yang selalu ada di sekolah bersamanya.

"Ren, dimakan jangan diaduk terus." Gio melihat mangkuk mi ayam milik Rena yang masih utuh.

Rena tersenyum tipis. "Ih, biar cepet dingin. Soalnya gak enak kepanasan."

Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Rena, Gio hanya geleng-geleng tak habis pikir. Berbeda dengan Rama yang sudah hapal kakaknya, kalau Rena tidak bisa makan makanan yang terlalu panas.

"Eh Ram, kira-kira mau masuk kelas apa nih? MIPA, IPS, atau Bahasa?" tanya Gio, yang beralih menatap Rama di depannya.

"Pengennya sih masuk kelas akselerasi bahasa. Tapi, bang Juna dan bang Abas gak kasih izin," ucap Rama dengan nada yang merendah, terdengar dari nadanya saja kalau Rama belum bisa menerima keputusan yang dibuat untuknya.

Gio mengernyit. "Loh, kenapa?" tanya Gio, ia melirik Rena dan Rama bergantian.

"Katanya, nanti lulusnya barengan sama kak Rena. Bang Juna dan bang Abas agak kesulitan kalau harus bayarin dua anak sekaligus masuk kuliah dalam setahun. Jadi, ya Rama masuk kelas biasa aja lah nanti." Rama mencoba tersenyum tegar kemudian.

Rena berdeham, cewek itu menyenggol kaki Rama di bawah meja. "Udah sekolah biasa aja, nikmatin masa SMA lo. Lagian ngapain sih ngebet banget pengen ngejar kelas akselerasi? Gara-gara Renjana?"

Gio terkekeh mendengar ucapan Rena. "Lah, Renjana?" tanya Gio yang kemudian dijawab anggukan dari Rena. "Renjana kan kelas bahasa juga. Hayo loh Rama kenapa nih sama Renjana."

Rama melayangkan tatapan tajam ke Rena dan Gio. "Astaga, gue sama kak Renjana cuma temen doang. Kak Renjana sama gue juga jarang ngobrol, lebay amat."

Rena tertawa kemudian. "Elo tuh! Gak pantes sama Renjana yang kalem gitu."

"Lah terus pantes sama siapa?" tanya Rama.

Gio jadi ikut-ikutan penasaran, karena selama ini yang ia tahu dari Rama hanya si bocah bermulut sambel. "Siapa Ren yang cocok sama Rama?"

Rena tersenyum jenaka, ia menoleh kanan dan kiri mencari-cari sosok yang ia cari. "Ada kok, hahaha."

"YA SIAPA?!" tanya Rama tak sabaran.

Rena melirik sinis Rama ketika mendengar adiknya itu mulai emosi. "Sabar, nih gue panggilin." Rena melihat sesosok cewek yang berjalan bersama kelima teman laki-lakinya. "OY! DEK! LEX!"

Rama dan Gio melihat orang yang dipanggil Rena itu. Langsung saja Rama menepuk lengan Rena cepat-cepat. "WOY KAK LO GILA?!" tanya Rama emosi.

"Hah? Yaiyalah, lo cocok anjir kalo sama dia." Kemudian tidak lama, cewek yang dipanggil oleh Rena itu menoleh, dan Rena melambaikan tangannya ke arah cewek itu. "Gak apa-apa Lex, cuma manggil!" ucap Rena dengan suara yang dilantangkan.

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang