20

1.1K 344 29
                                    

"sᴇᴛɪᴀᴘ ᴏʀᴀɴɢ ᴘᴜɴʏᴀ ᴘᴏʀsɪ ʙᴀʜᴀɢɪᴀɴʏᴀ sᴇɴᴅɪʀɪ. ᴋᴀʟᴀᴜ ʙᴀʜᴀɢɪᴀᴋᴜ sᴀᴀᴛ ᴋᴀᴍᴜ ᴛᴇᴛᴀᴘ ᴅᴇɴɢᴀɴᴋᴜ."

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Gio membawa tas-nya di punggung begitu keluar kamar. Hal yang sama dilakukan juga oleh Jehan. Libur telah usai, besok Senin Jehan try out dan Gio berangkat sekolah. Pagi-pagi buta Gio dan Jehan sudah bersiap-siap pergi ke stasiun.

"Gak ada yang ketinggalan?" tanya Jehan yang melakukan pengecekan sebelum benar-benar meninggalkan rumah.

Gio mengecek saku, dan barang di tasnya. "Dompet udah, hp, kamera udah. Gak ada yang ketinggalan." Gio mengangguk mantap.

"Ok deh, ayo berangkat," ucap Jehan.

"Gi ...."

Gio menoleh ketika ada suara lirih memanggilnya. Begitu juga Jehan yang ikut penasaran.

Pintu kamar yang ditempati Rena dan Rama itu terbuka sedikit, lalu kepala Rena muncul dari sana. "Gii ...." panggil Rena.

Gio tersenyum lebar, ia menatap Jehan. "Bentar ya bang, lo tunggu gue di depan." Kemudian Gio berjalan menghampiri Rena.

Rena menatap datar Gio yang berjalan ke arahnya. Sedih rasanya tidak bisa pulang ke Jakarta bersama. "Mau berangkat? Ati-ati ya?"

"Iya ini mau berangkat. Kamu bangun pagi banget." Gio melihat jam tangannya. "Sini keluar ih, kenapa cuma kepalanya doang yang keluar?" lalu Gio terkekeh melihat Rena sekarang yang tubuhnya bersembunyi di balik pintu.

"Udah biarin. Kamu berangkat sana, ati-ati ya. Aku sengaja bangun pagi buat bilang ati-ati ke Gio." Rena menarik senyumnya.

Mendengar itu, Gio jadi agak tersentuh. "Makasih ya, sekarang masuk terus tidur lagi. Besok kan ketemu di sekolah."

Rena mengangguk mengerti. Ia menarik napasnya lalu melepaskannya. "Ya udah sana. Dah ...." Rena melambaikan tangannya kepada Gio, dan akhirnya dibalas juga oleh Gio.

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Perjalanan ke stasiun Yogyakarta pagi-pagi. Udara pagi yang masih segar, bau embun dan gabah padi. Masih identik dengan pedesaan. Buat Jehan, suasana semacam ini sangat mendukung untuk belajar.

Suasananya sudah mendukung, hanya satu yang kurang. Yaitu, otaknya entah ke mana. Rasa penasaran terhadap Gio lebih tinggi frekuensinya, daripada rasa ingin buka buku. Alhasil niatnya belajar di mobil ditunda, dan memilih belajar di kereta saja.

"Kemarin malem, lo abis keluar sama siapa?" tanya Jehan. Ia mengalungkan headset-nya di leher.

Gio yang sedang melihat-lihat hasil foto di kameranya, langsung fokusnya teralihkan ke Jehan. "Oh, gue pergi sama Bima ke angkringan."

Jehan memutar tubuhnya ke samping, menghadap Gio. "Oh tumben."

Gio tersenyum tipis. "Soalnya gue mau traktir dia. Dia kan temen deket Rena, ya gak apa-apa." Gio memasukkan kameranya kembali ke dalam tas khusus kamera.

Jehan menaikkan sebelah alisnya. "Tumben. Emang kenapa kalo temennya Rena?"

"Kan, Rena pacar gue," ucap Gio datar.

"Hah?!" Jehan terkejut bukan main. "Kapan jadian?! Jangan bilang tadi malem."

Gio meringis. "Semalem haha. Gue tembak aja, gara-gara pembuktian trik lo kemaren. Itu artinya dia suka sama gue juga kan?"

Jehan menggaruk keningnya. "Aduh Gi, untung lo diterima. Kalo gak gimana?"

"Ya kalo ditolak, usaha lagi. Kalo emang gak bisa ya udah, gue gak maksa juga." Gio menghela napasnya panjang. "Kenapa sih? Bukannya bagus gue jadian sama Rena?"

Jehan masih tak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja dari mulut Gio. Bahkan butuh waktu beberapa detik untuknya, memahami situasi ini. "Bagus kok. Cuma, lo sebaiknya jaga perasaan orang lain juga."

Gio mengernyit, dan menatap Jehan penasaran. "Maksudnya?"

Bener-bener ini anak gak tahu apa-apa.

Jehan berdeham, dan menatap serius Gio. "Lo pernah di posisi dia."

Gio berpikir lama karena mencerna ucapan Jehan. "Siapa? Gue pernah di posisi apa?"

"Suka sama temen sendiri."

Gio membulatkan kedua bola matanya lebar-lebar. Ia mengingat kejadian lama itu, dan kini Gio baru mengerti siapa yang Jehan maksud. "Astaga." Gio memijat pangkal hidungnya, tiba-tiba saja teringat kejadian semalam. "Yang bener dong, serius?"

Jehan terkekeh, ia menatap Gio tak habis pikir. "Iya serius."

Gio mengulum bibirnya, dan membuang wajahnya menatap jendela mobil. Tiba-tiba saja banyak rasa bersalah bermunculan di dirinya, namun bersamaan dengan itu ada rasa takut kehilangan Rena. Gio menarik napasnya dalam-dalam sembari memejamkan matanya. Cowok itu mencoba menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggunya.

"Apa yang bakal lo lakuin sekarang?"

Gio menoleh, ekspresi wajahnya masih menunjukkan rasa terkejut. "Ah itu, em ... gue gak gimana-gimana sih. Kalau Bima punya perasaan ke Rena, itu urusan Bima. Asal Rena gak tanggepin perasaan Bima, ya gak apa-apa. Gue gak bisa seenaknya ngatur ini itu, larang Rena buat jauhin Bima. Karena mungkin itu buat cewek gue sedih. Ya udah santai aja sih gue."

Jehan mengembuskan napas lega, ia merasa adiknya yang dulu masih suka menangis kini sudah punya pacar. "Terus soal lo traktir Bima karena mau bilang, kalo lo udah pacaran sama Rena gitu?"

"Salah satunya itu. Dan lagi, gue mau coba berteman dengan Bima. Tapi sumpah demi apa aja, gue gak tahu kalo Bima suka sama Rena. Gue merasa bersalah bang."

Jehan menepuk pundak Gio. "Santai aja. Lo cukup bilang sekali, kalo lo itu cowoknya. Kalau dia cowok baik-baik, dia tahu apa yang pantas dilakukan."

Jujur, Gio masih tak percaya dengan apa yang ia dengar dari Jehan. Jika memang benar begitu, maka Gio tahu bahwa sejak lama ia sudah melukai Bima. Karena Gio, pernah di posisi itu cukup lama. Jadi mana mungkin cowok itu tidak merasa bersalah.

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

Rajin update banget 🤣

Jangan lupa leave comment & vote.

Cek ig. @sekareare karena siapa tahu banyak info2 penting😄

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang