38

1.8K 293 35
                                    

"Setiap pertemuan ada perpisahan, sehabis pertikaian ada perdamaian. Jika ego menghancurkan hati, maka ucapan yang baik akan menyembuhkan hati."

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰

*ps. play multimedia*

Langit Jakarta pagi ini mendung, redup, seolah mewakili perasaan Rena yang tertutup awan kesedihan. Siapa yang bisa kira dan siapa yang menduga, kalau dulu yang dekat kini jauh dan semakin jauh.

Kata rela tidak ada sama sekali tercantum dalam hati Rena. Bahkan, untuk memejamkan mata saja tidak berani, Rena takut esok akan cepat datang.

Gio menggenggam tangan Rena erat, ketika keduanya menginjakkan kaki di bandara. Rena tidak mampu mengangkat kepalanya agar lebih tegar, dirinya terlalu hanyut dan jiwanya karam di palung kesedihan.

"Bima bilang nunggu di waiting room kan?" tanya Gio sembari berjalan menggandeng Rena.

"Iya ....," tanggap Rena yang terdengar tak bersemangat itu.

Kedua bola mata Gio mencari-cari sosok Bima, di antara banyaknya manusia di ruang tunggu. "Eh itu Bima ya?" sedetik kemudian Rena mengangkat kepalanya, dan mencari Bima. Gio mengangkat tangannya tinggi, lalu dilambaikan. "Bim!"

Bima yang sejak tadi duduk melamun itu menoleh ketik namanya dipanggil. Lalu Bima bangkit dari duduknya, dan menunggu Gio juga Rena berjalan mendekat. Ada rasa malu, segan, tidak enak hati melihat Rena dan Gio saat ini.

Senyum tipis di bibir Gio tersungging. "Hey Bim? Gue mau bilang, maaf kalau selama ini ada perilaku yang buat lo gak nyaman, yang gue sengaja atau tidak gue sengaja. Terus juga makasih, lo masih mau ketemu buat menyelesaikan masalah," ucap Gio.

"Gue juga minta maaf yang besar buat lo Gi, kalau ternyata selama ini gue udah gak bersikap baik dan terkesan suka nyudutin elo." Bima menepuk lengan Gio, dan melirik Rena. "Ren, lo ngapain dah ke sini kalau gak mau ngomong sama gue?"

Gio terkekeh kemudian. "Yaudah gue tinggal kalian berdua." Gio menatap Rena, dan melepas genggaman tangannya. "Aku tunggu kamu di restoran yang di sana ya?" Gio menunjuk sebuah restoran cepat saji di sudut ruang. "Kamu selesaikan dulu sama Bima, santai aja. Ya?"

Rena mengangguk paham, lalu tersenyum kecil. "Ok, makasih ya Gi."

Setelah itu Gio pergi memberikan waktu untuk Bima dan Rena bicara. Dua anak remaja itu duduk di kursi berdampingan, dan saling buang wajah. Melihat Bima, buat ia terngiang ucapan Bima tempo hari.

"Lo mau diem terus sampai gue telat check in?"

Rena melirik Bima, kemudian menggeleng. "Gak tuh."

Bima berdeham, kemudian menyandarkan punggungnya di kursi agar lebih santai. "Ren, maafin kata-kata gue ya? Walau gue tahu kalau sekedar maaf gak bisa hapus bekas luka." Bima memandang Rena yang saat ini memunggunginya.

Rasanya begitu emosional sampai-sampai, hanya mendengar kata maaf saja buat air mata Rena langsung membludak. "Jahat banget lo sama gue, udah ngata-ngatain gue, sekarang mau pergi jauh," ucap Rena dengan suara yang bergetar.

Bima terkekeh geli, kemudian ia memajukan badannya sedikit dan menarik lengan Rena. "Sini lihat gue, kagak sopan lo ngomong sama orang tapi gak dilihatin matanya." Sedetik kemudian Rena menoleh dan menatap Bima. Cowok itu melihat air mata sudah menggenang di mata Rena, ada perasaan bersalah yang amat besar begitu melihatnya. "Ren, maaf ya?" tanya Bima.

Melihat Bima di depannya saat ini justru menambah kesedihannya, namun Rena tidak habis pikir jika nanti tidak melihat Bima lagi di setiap harinya. "Iya gue maafin, kalo gue maafin lo gak jadi pergi kan?" tanya Rena.

Unspoken LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang