13. Step A Wound

212 94 27
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Kamu tahu ini penting."

Ichi memandang Yoon malas, "Apanya, sih?"

"Kita sudah beberapa hari di Nagi. Tidakkah kamu berpikir untuk sekali saja menengok ayah? Turunlah sebentar. Kamu tahu tidak banyak waktuku untuk terus di sini."

Ichi menarik tangannya yang digenggam Yoon. Pria yang menjabat sebagai suaminya itu bahkan sedari tadi membujuk untuk turun dan ikut bersenang sebentar di bawah demi senangkan ayahnya, sebenarnya hanya demi alih-alih menengok orang tua renta itu. Namun Ichi masih terus berkeras diri untuk tak beranjak. Beberapa hari ini pun ia terus menghindar. Makan malam bersama selalu ia lewatkan dengan alasan tak enak badan, kegiatan apapun, sebisa mungkin ia tidak bertemu dalam satu ruang.

"Kalau begitu, kita kembali saja ke Seoul." ucap Ichi bangkit dari atas ranjang dan berjalan ke arah meja di sudut, tempat beberapa gelas dan ceret kaca berisi air mineral di sana.

"Chi," Yoon ikut bangkit, menghampiri Ichi yang tengah menuang air ke dalam gelas. "Sayang?"

Ichi berdeham kala merasai Yoon memeluknya dari belakang sembari merayu sedang dirinya tengah menegak air dalam gelas.

"Aku tahu tidak mudah. Aku tahu kamu masih merasa sakit akan perlakuan ayahmu,"

"Itu tidak akan pernah hilang, Yoon." tandas Ichi yang menoleh garang pada Yoon. Sedang Yoon mengangguk cepat-cepat.

"Iya, benar. Itu tidak akan pernah hilang." benah Yoon sebelum Ichi merajuk dan tidak lagi dapat dibujuk. "Tapi, tidak ada salahnya untuk sedikit bertanya kabar, melihat keadaannya. Luruhkan sedikit egomu, kamu tahu ayah sudah renta. Dan dia tidak lagi miliki raga yang kuat untuk terus menyakitimu—ya, bila itu yang kamu rasa."

Ichi mengernyit, mendadak merasa diserang. "Kamu mengajak ribut denganku?"

Yoon menggeleng, mengecup hidup Ichi sekilas. "Tidak, sayang. Sungguh. Tetapi tolonglah, ingatlah bahwa bukan porsi kita untuk terus-terusan bisu pada orang tua. Membencinya, itu bukan keputusan yang tepat. Berpikirlah bahwa bisa jadi ini waktu-waktu terakhirnya."

Yoon melepas pelukannya, membalik tubuh Ichi untuk menghadapnya. Suami Ichi itu tatap lurus mata Ichi. Menggali terlalu dalam untuk cari banyak jawaban dari mata Ichi. 

"Aku tahu hatimu tidak benar-benar tawar."

Ichi mendengus. "Memangnya, apa yang tidak kamu tahu, hah?"

"Dengarkan aku dulu,"

"Aku tidak ingin, Yoon. Aku tidak ingin. Kuakui, aku tidak lagi terlampau membenci ayah seperti dulu. Perlahan diriku juga sudah lelah dengan terus-terusan memupuk benci seperti ini. Aku tahu, aku lebih dari tahu bahwa membenci orang tua adalah perangai setan. Tapi tolong jangan paksa untuk bertemu. Aku butuh waktu. Aku akan merelakan rasa sakitku, tapi bisa bayangkan bagaimana rasa sakit ibu atas pengkhianatan ayah?" intonasi Ichi meningkat. "Ibu itu butuh dukungan ayah. Ayah bahkan sudah menyakiti ibu, namun ibu masih tetap menyayangi ayah. Ibu tetap memilih bersama ayah meski terus disakiti, namun mengapa malah ayah yang meninggalkan ibu? Itu konyol. Dengar, Yoon. Aku akan menemui ayah, akan. Entah kapan, yang jelas bukan sekarang."

HELLUVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang